Camen 07 - Mencoba Memahami

1K 138 12
                                    


07 - Mencoba Memahami

Ketika seorang laki-laki berbuat kasar, ada tiga hati yang terluka. Pertama pasangannya, kedua ibunya perempuan, yang terakhir ibu kandungnya.

🍭🍭🍭

Sebenarnya meski pernah satu atap, Dava tak terlalu kenal dengan Pras. Yang ia tahu, Pras baik. Sering mentraktir makan, mau berbagi uang saat waktunya bayar kost. Sejauh pengamatannya, Pras juga memperlakukan Nina dengan baik. Berantem ya paling cuma ribut-ribut kecil seperti pasangan pada umumnya. Menurut Dava wajar saja.

Akan tetapi, Dava tidak menyangka jika Pras akan berbuat sejauh itu kepada seorang perempuan yang bahkan belum tentu menjadi istrinya. Pras merusak masa depan Nina dengan kalimat-kalimat kasarnya, Pras melukai harga diri Nina dengan selalu merangsek uang gadis itu. Bahkan Dava belum pernah melakukan apa yang Pras lakukan pada Nina. Jangankan mencoba, membayangkannya saja Dava tak sanggup. Baginya, perempuan itu berharga. Karena dari perempuan-lah muncul kehidupan manusia.

[Makanya itu Mas, aku takut. Kalo kita punya hubungan, itu artinya kita LDR-an dong? Dulu aja gagal, apalagi yang sekarang? Maaf kalau mikirnya udah kejauhan. Tapi aku emang setakut itu untuk membangun kepercayaan lagi sama laki-laki.]

Dava menelan ludah dengan susah payah. Seakan tulisan dari Nina sulit dicerna. Ia paham, sangat paham membangun kepercayaan memang tak mudah. Dava akui itu. Wajar saja jika Nina berusaha menolaknya.

Baru kali ini ditolak perempuan.

[Aku ngerti kok, Nin. Itu nggak mudah buat kamu. Tapi kenapa kamu nggak coba dulu? Seperti yang udah aku bilang barusan. Masa lalu kamu biar jadi milikmu, dan sekarang tugasmu raihlah masa depan, dengan senyum serta hati yang baru. Tunjukkan pada Pras, kalau kamu masih bisa bernapas meski tanpa dia ada di sisi kamu. Nggak masalah buatku mau berapa lama nunggu kamu akan bilang 'siap'. Aku akan bikin kamu nyaman sama aku.]

Entah dorongan dari mana, Dava mengetik panjang seperti itu. Yang jelas, Dava seyakin itu kepada Nina, dan merasa membuat gadis itu nyaman adalah tugasnya. Nina berhak bangkit dari keterpurukannya.

[Mas Dava yakin?]

Hanya itu balasan dari Nina. Sekali lagi, tak mudah bagi gadis itu untuk mempercayainya.

[Mas belum pernah seyakin ini sama perempuan. Bahkan sama Asha sekali pun.]

Cuma centang biru. Dava meletakkan ponselnya di atas meja. Meregangkan otot-otot wajah serta tangannya. Toko belum ditutup meski senja sudah kian merapat.

Ponselnya berdering. Dava pikir Nina yang meneleponnya, ternyata Pakde Gino.

"Iya, Pakde?"

"Pulang. Ibumu udah sampai."

"Ibu?" Dahi pria dua puluh tujuh tahun itu mengernyit heran. Pasalnya, sang ibu tidak ada kabar ingin datang ke Yogyakarta. Bahkan sampai Pakde Gino meneleponnya, wanita itu belum juga berkata apa-apa.

Setelah berkata akan pulang secepatnya, Dava mematikan ponsel, menutup layar laptop, menyambar jaket dan menyampirkannya di lengan, menarik anak kunci lalu menutup daun pintu ruangannya. Bertemu dengan Bimo, Dava menitipkan kunci toko yang sudah ia kantongi sebelum keluar. Kemudian mengendarai Honda Vario CBS warna biru menuju tempat tinggalnya.

🍭🍭🍭

"Gimana kamu sama Asha? Kemarin temen SD kamu sudah nikah. Kamu kapan?"

Baru saja duduk, lelah belum minggat, jejak sepatunya masih tercetak nyata di luar, suara halus tapi merontokkan hati Dava terdengar mengerikan. Siapa lagi yang bertanya kalau bukan Ayuningsih, wanita berjilbab lebar yang berjasa dalam hidup Dava.

Ibunya memang belum tahu kalau hubungannya sudah ambyar dan Asha batal nikah. Bukannya Dava pelit atau tidak mau terbuka, hanya saja ia mau mengatakannya pelan-pelan. Apalagi sang ibu sudah telanjur berharap kepada Asha.

"Kamu belum cerita sama ibumu, to?" tanya Pakde Gino yang duduk di sofa seberang.

"Belum sempat, Pakde."

Ayuningsih meletakkan cangkir yang barusan diseruput isinya di meja. Kemudian menatap putranya. "Lho emangnya ada apa, to?"

"Si Asha itu, kesusu pengen rabi. Ora sabaran, malah gandengan karo lanangan liyo." Bukan Dava yang menjawab, tetapi Pakde Gino.

"Bener, Le?" tanya wanita itu memastikan. Dava mengangguk. Terdengar embusan napas setelahnya.

"Dulu memangnya kamu sudah pernah bilang mau nikahi dia?"

Dava menggeleng. "Dava cuma bilang mau fokus ke pekerjaan dulu, Bu. Biar bisa punya tabungan buat nanti."

"Wanita itu wajar kalau butuh kepastian, Le. Makanya itu kamu ndak usah dulu punya hubungan apa-apa ke perempuan kalau belum berani berkomitmen."

"Tapi Bu, sekarang Dava lagi deket sama seseorang."

Ayuningsih melotot tak percaya setelah mendengar ucapan polos anaknya. "Mbok kamu apain lagi?"

"Ya nggak diapa-apain, Bu."

"Kalau kamu mau serius sama dia, Ibu akan dukung. Tapi kalau cuma untuk main-main, mending kamu pulang ke rumah. Bantu bapakmu angon wedus!"

"Iya, Bu."

Hening tercipta setelah itu. Ayuningsih kembali meraih cangkir dan meminum tehnya. Sementara Pakde Gino mengundurkan diri karena ada telepon.

"Ibu ini terserah kamu, Le. Mau kamu sama siapa aja, asal kamu bahagia, Ibu juga ikut bahagia. Tapi Ibu ndak suka kalau kamu menyakiti hati perempuan. Ingat Le, pria sukses itu yang selalu menyenangkan hati perempuannya. Kalau memang perempuan yang sedang kamu dekati sekarang jodoh dari Gusti Allah, pasti bakal dilancarkan. Nggak usah takut kelaparan nanti, mapannya seseorang beda-beda. Intinya jangan sia-siakan kesempatan."

"Iya, Bu."

Pada akhirnya, ibunya memang tak pernah mengekang. Laki-laki tak akan bisa hidup tanpa perempuan di sisinya, itu pesan tersirat yang ada pada setiap ucapan sang ibu barusan. Dava akan mengingatnya sampai kapan pun.

🍭🍭🍭

Nina yang masih memikirkan chat dari Dava sampai tak bisa tidur. Sialnya ponsel mati lagi padahal baterainya masih 50% dan membuat Nina tidak bisa mengirim chat. Memang sudah saatnya benda itu dilempar ke tong sampah.

Apakah Nina harus menerima Dava? Kalau diterima, itu artinya keduanya akan berhubungan jarak jauh. Meski Yogyakarta-Temanggung dekat, bukan berarti hubungannya akan selamat dari badai. Nina masih takut menghadapi itu. Apalagi Dava  juga baru putus dari Asha.

Matanya tertumbuk pada angka yang ditunjukkan jarum jam. 23.27, hampir tengah malam. Nina bangkit, mengenakan sandal, perlahan melangkah menuju kamar mandi. Gadis itu berniat untuk salat istikharah. Maka dari itu, ia bergegas mengambil air wudu.

Nina menggelar sajadah di lantai, mengenakan mukenah, dan mulai mengumamkan niat salat istikharah. Nina menjalaninya dengan khusyuk. Jiwanya merasa damai saat dahinya bersentuhan dengan ujung sajadah. Setelah itu, Nina menunduk kemudian menengadah kedua tangan di bawah dagu. Kali ini ia benar-benar pasrah. Semoga setelah mengadu pada-Nya, hatinya yang gundah ini bisa segera mengambil keputusan.

Usai melipat kembali mukenah dan sajadah, Nina beranjak ke atas kasur dan berbaring di sana. Perlahan matanya mulai buram dan berangsur tertutup. Kantuk pun menguasainya hingga gadis itu berhasil masuk ke alam mimpi.

🍭🍭🍭

Calon Menteri - [Terbit]Where stories live. Discover now