Camen 08 - Mulai dari Nol

936 143 20
                                    


08 - Mulai dari Nol


Gusti Allah niku mboten sare, kulo sing keturon.

🍭🍭🍭

"Kamu udah kepikiran mau kasih kado apa ke Mas Wahyu?"

Nina yang sedang mengecek stok barang tercekat. Riana kalau tanya hal yang sensitif suka tidak tahu situasi dan kondisi.

Gadis yang kini mengenakan kerudung berwarna biru membalikkan badannya menghadap Riana. "Kamu tuh kalo nanya begitu mbok ya liat-liat dulu aku lagi ngapain. Jadi ambyar hitunganku tau gak!"

Riana meringis seraya mengangkat tangannya membentuk huruf V. "Habis aku bingung, Nin. Mau kasih kado tapi nggak tau mau ngasih apa. Takutnya malah malu-maluin."

"Tahu dari mana kalau kadomu nanti malu-maluin? Emangnya nanti Mas Wahyu buka kadonya di depan mata kamu?"cecar Nina yang masih setia dengan buku dan pulpen di tangannya.

"Ya gak gitu juga konsepnya, Mak Ijah!" Riana cemberut. Salah memang kalau minta saran pada Nina.

"Kasih aja kado handuk sepasang, atau baju tidur sepasang, atau mau yang ekstrem kayak daleman misalnya?"

"Astaghfirullah ughtea!"

Kali ini Riana benar-benar sakit kepala.

Nina melirik Riana sekilas, kemudian terkekeh. "Aku ora salah, to? Lagian, kita ndak tahu selera Nas Wahyu bagaimana. Tinggal kasih aja apa yang mereka butuhkan sekarang, kayak daleman yang aku sebut tadi."

"Ya nggak daleman juga, Nin!" Riana makin gemas.

Nina memasukkan semua alat tulisnya tadi ke dalam tas. Lalu mencangklongnya ke pundak. "Aku pulang duluan, ya. Kayaknya aku mens, mau tak cek di rumah. Nanti aku balik lagi."

Riana mendengkus. "Kebiasaan mens belum pakai pembalut!"

"Lha wong tadi belum kok. Yo wis, aku bali, yo." (Ya sudah, aku pulang ya)

🍭🍭🍭

Nina keluar dari kamar mandi seraya memegangi perutnya. Dengan langkah terseok ia pergi menuju kamarnya untuk mengurangi rasa sakit akibat tamu bulanannya itu.

Tangannya terulur melepas jilbab, lantas meletakkannya di dekat bantal yang akan ia gunakan untuk tiduran. Selalu begitu. Nina terkenal berantakan karena sengaja menaruh barang-barang di atas kasur supaya dekat dari jangkauannya. Nina pernah ngambek dua hari dua malam hanya gara-gara ibunya memindahkan power bank di bawah bantal hingga menyebabkan Nina lupa dengan benda itu. Maka dari itu Nina selalu mengunci kamarnya saat berpergian supaya tidak ada yang berani menjamah barang-barangnya.

Baru jam satu siang, mungkin tidur sebentar bisa meredakan nyeri perut yang Nina derita. Toh Riana masih ada di sana, Mas Agus mungkin sebentar lagi pulang dari gudang.

🍭🍭🍭

"Nina! Bangun!"

Nina mengucek kedua matanya, kemudian bangkit perlahan. Suara sang ibu terdengar nyaring dari luar, menandakan bahwa ia harus segera menampakkan diri di hadapan ibunya.

Usai cuci muka, gadis itu mengernyit heran kenapa jendela-jendela sudah diturunkan gordennya dan lampu-lampu sudah dinyalakan. Bukannya hari masih siang?

"Mak, kenapa ditutup jendelanya? Ada gerhana, ya?" Dengan wajah polosnya Nina bertanya seperti itu. Sang ibu yang sedang menuang air ke dalam teko mendelik tajam.

"Ngelantur! Ini tuh sudah malam! Dasar kebo, tidur suka nggak ingat waktu!"

Nina terbelalak. Sontak ia memutar tubuhnya ke belakang agar dapat melihat jam dinding. Benar sekali, sekarang waktu menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit.

"Makanya kalo tidur itu ingat waktu. Betah banget tidur lama-lama."

Secepat kilat Nina berlari menuju kamar untuk mengecek ponselnya, mengabaikan ocehan dari sang ibu. Ada banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Riana. Pasti temannya itu sudah kesal level ultra. Nina memejamkan matanya, duh auto gaji dipotong kalau begini.

Mata Nina tertuju pada satu pesan yang sejak semalam ia abaikan—lebih tepatnya Nina belum menemukan jawaban yang tepat untuk Dava—apa Dava masih menunggu jawabannya? Nina masih memikirkan jangka panjangnya jika menerima Dava sebagai pasangan. Nina terjebak antara pertemanannya dengan Asha dan Dava adalah mantannya Asha. Mereka berdua pun belum lama berpisah. Nina sedikit takut jika ia hanya dijadikan pelampiasan oleh Dava.

Tetapi, pelampiasan apa? Bukankah urusan Dava dan Asha sudah selesai?

Lagi pula, Dava menerima masa lalunya, pantaskah jika Nina mengabaikan itu semua?

[Aku ngerti kok, Nin. Itu nggak mudah buat kamu. Tapi kenapa kamu nggak coba dulu? Seperti yang udah aku bilang barusan. Masa lalu kamu biar jadi milikmu, dan sekarang tugasmu raihlah masa depan, dengan senyum serta hati yang baru. Tunjukkan pada Pras, kalau kamu masih bisa bernapas meski tanpa dia ada di sisi kamu. Nggak masalah buatku mau berapa lama nunggu kamu akan bilang 'siap'. Aku akan bikin kamu nyaman sama aku.]

Nina membacanya sekali lagi. Mungkin memang ini saatnya untuk membuka hatinya kembali. Mencoba dekat dengan laki-laki sekali lagi. Lagi pula kalau begini terus bagaimana bisa keluar dari masalah?

Jemarinya mulai menari di atas layar ponsel. Setelah pesan terkirim, Nina mengeluarkan buku serta pulpen dari tasnya. Kali ini ia harus menyelesaikan laporan supaya hati Mas Agus tidak memarahinya besok.

Ponselnya berdering. Nina pikir Dava yang meneleponnya, tetapi ternyata nomor asing. Takut jika itu pelanggan toko, Nina segera mengangkatnya. "Hallo. Ada yang bisa saya bantu?"

"Nin ...."

Nina mengerjapkan mata. "Asha?"

"Iya. Ini aku."

"Ganti nomor lagi?"

"Iya, Nin."

Nina memutar bola matanya malas. Heran dengan orang yang punya kebiasaan ganti nomor setiap waktu, apa faedahnya coba? Beruntung sekarang nomor ponsel bisa disimpan dalam email. Namun, tetap saja Nina malas menyimpan nomor baru.

"Rencananya aku mau pergi ke Jogja."

"Oh, ya? Dalam rangka apa?"

"Jenguk makam nenek sama ketemu Dava."

"Oh gitu. Kalian berdua emangnya masih mau lanjut?"

"Iya, Nin. Doakan, ya!"

Bodoh!

Ingin rasanya Nina segera mengakhiri panggilan. Namun, itu tidak sopan. Asha belum selesai bicara.

Baru saja ingin percaya dengan Dava, tapi laki-laki itu berhasil mematahkannya lagi.

Tunggu. Kenapa Nina marah?

🍭🍭🍭

Dava yang baru saja selesai mengantarkan ibunya ke stasiun merebahkan tubuhnya di atas kursi panjang. Di sisi lain ia masih menanti chat dari Nina. Sejak semalam belum dibalas juga. Apa jangan-jangan kuota 10 GB darinya sudah habis?

Tring!

Dava yang berbaring mengubah posisinya menjadi duduk. Meraih benda pipih yang berada di atas meja. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat siapa yang mengirim pesan.

[Kita mulai dari nol ya, Mas!]

Entah kenapa, hati Dava tenang setelah membaca kalimat itu. Sekarang ia dan Nina menjadi pasangan, itu artinya ia harus bisa membuat Nina percaya. Jangan sampai membuatnya terluka lagi.

Ponselnya berdering. Dava pikir Nina yang meneleponnya, tapi nomor baru yang terpampang di layar. Dava segera mengangkatnya, takut jika pelanggan baru yang menghubunginya. "Hallo. Ada yang bisa saya bantu?"

"Dava ...."

Dava terbelalak. Suara itu ... tidak mungkin!

🍭🍭🍭

Translate quotes:

Allah itu nggak tidur, tapi saya yang ketiduran.

Calon Menteri - [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang