BAB 3

2.3K 285 42
                                    

—PRAGMA—

"Thank you for spending your weekend with me, Ra."

"Gue kali yang makasih sudah diajakin liburan."

"You're welcome, Ara." Adit tak mau lagi mendebat. Ara tersenyum. Bagi Ara, Adit belum berubah. Masih saja banyak mengalah. Ara benar-benar menikmati liburan bersama Adit. Ditambah lagi, teman-teman Adit juga menyenangkan. "Besok kita pisah dong," gerutu Adit.

Ara tertawa. "Sudah lama kali kita pisah, Dit."

Adit mengarahkan bola matanya ke sudut. Laki-laki itu melirik Ara sebal. Bibirnya mengerucut. "Bukan pisah yang itu, Ra. Ah, lo mah, bikin gue mati gaya." Mau tak mau Ara tertawa lagi. Lucu sekali ekspresi Adit. Dia benar-benar kebingungan harus berbicara seperti apa. Adit bukan tipikal manis di mulut. He talks less and do more, literally. Bisa jadi apa yang diucapkannya sekarang sudah disusun naskahnya di kepala sejak tadi. Dia bisa sekikuk itu memang. Hanya saja entah kenapa, Ara menemukan hal itu menjadi daya tarik tersendiri.

"Jangan ngambek dong!" Ara menyenggol bahu Adit dengan bahunya. Adit terkejut .

Adit menunggu angin yang menerpa rambut Ara memelan agar dia bisa melihat wajah Ara jelas. Adit tidak pernah tidak menatap lawan bicaranya walaupun terkadang dia bertingkah kikuk. "Ra, nanti kita nyemplung loh. Mau dimakan hiu?"

"Ih, ngomongnya, Dit."

"Lo yang mulai juga." Alih-alih bertengkar kedua insan tersebut malah tertawa. Entah kenapa. Aneh kan? Iya, Ara dan Adit memang dijuluki pasangan aneh dahulu kala. Karena mereka bisa saja tanpa kata tertawa bersama atau terjebak dalam obrolan yang hanya mereka berdua yang mengerti. "Cakep ya, Ra." Adit memindai sekitar.

"Cakep? Gue? Ya iyalah gue cakep. Makanya lo dulu kepincut."

Adit hanya mengeluarkan senyum terpaksanya. "Males gue. Males banget dengernya." Kemudian, dia kembali menjelaskan, "Pemandangannya, Araaaa."

Ara terdenyum kecil. "Gue kan juga pemandangan, Dit." Pria berkacamata itu hanya mencebik. Lalu, Ara turut menikmati tatanan alam laut yang begitu indah. Turut pula memperhatikan lantai kapal yang terbuat dari kaca sehingga mereka bisa lihat biota laut Sabang yang menakjubkan. Saat ini mereka sedang menyebrang dari pulau Rubiah kembali ke Iboih. Malam ini, rombongan Adit termasuk Ara akan menginap di Sabang. Lalu, besok pagi akan kembali ke Ulee Lheue, Banda Aceh. "Iya, Dit. Keren banget, ya." Pada akhirnya Ara menyetujui pendapat Adit.

"Iya dong. Gue emang keren." Adit membalikkan permainan. Ara malah menginjak kakinya kuat-kuat. "Aduh, Ra! Sakit!"

"Bodo!" Jelas, Ara tak mau kalah.

Tak lama, ponsel perempuan mungil itu berdering. Ara mendesah. Nama itu, belakangan ini sibuk menghiasi ponsel sang puan. Kali ini, panggilan video. Ara mengangkatnya dan tersenyum ke arah kamera. Ternyata, Ara baru menyadari melakukan panggilan video di kapal tidak lah menyenangkan. Suara deburan ombak, deru mesin dan sapuan angin kencang menghambat suara Atha masuk ketelinga Ara. Belum lagi ada arus yang menggoyangkan kapal ini membuat Ara mual jika harus fokus pada layar terlalu lama. Mau tak mau Ara memutuskan untuk menyudahi panggilan. Sebelum Ara benar-benar muntah. Dia takut malu sama Adit yang saat ini memperhatikan Ara dengan lekat.

"Sudah dulu ya, Kak. Aku di kapal. Mual liat ponsel lama-lama. Takut nyemplung juga." Ara melambai-lambai ke kamera dan segera memutus sambungan. Bahkan, Atha belum menyampaikan salam perpisahan.

PRAGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang