Keping 21

73 24 0
                                    

Zai menahan rasa sakitnya dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Meskipun ia sering bertarung saat belajar bela diri, tetapi sebelumnya ia belum pernah memukul orang lain di luar lapangan. Ia melakukan hal itu hanya untuk membela dirinya. Ia merasa bersalah tetapi saat itu emosinya tidak tertahan. Suara ketukan pintu membuat Zai menghentikan lamunannya.

Zai tidak mengubah posisinya ketika mendengar Pattar berteriak dari luar.

"Masuk aja!" Zai berteriak tetapi suaranya tidak terlalu keras karena tertahan oleh rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Pattar membuka pintu dan keheranan melihat Zai yang merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk menyambutnya. Pattar menarik kursi meja belajar Zai kemudian duduk di sana, "Dari mana lo semalem?"

Zai terdiam. Dia tidak berusaha bangkit dari posisinya.

"Semalem gue ketuk kamar lo dan lo nggak ada. Ke mana lo?"

Akhirnya Zai berusaha bangkit dengan bersusah payah. Suara ringisannya membuat salah satu alis Pattar terangkat.

"Gue ke rumah seseorang." Zai duduk di tepi ranjangnya.

Pattar langsung bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Zai. Pattar curiga karena melihat Zai meringis saat bergerak dari posisi sebalumnya. Pattar tidak menemukan luka apapun di wajah Zai, tetapi ia tetap curiga. Ia menarik baju Zai hingga bagian perutnya terlihat. 

Pattar melihat beberapa memar ada di area yang terbuka, "Lo ribut sama siapa?"

"Sama seseorang." Zai langsung menepis tangan Pattar.

Pattar memundurkan langkahnya dan melipat tangannya di dada, "Lo nggak mau cerita apapun?"

Zai tetap diam dan menundukkan kepalanya.

"Kalo lo nggak bisa cerita, obatin dulu memar lo." Pattar berjalan keluar dari kamar Zai.

Zai beristirahat seharian di indekos. Pattar datang saat jam makan siang dan memberikan makanan untuk Zai. Ia juga memberikan obat untuk meringankan memar yang Zai derita, tetapi Pattar tidak berlama-lama di kamar Zai. Wajah Pattar juga tidak berekspresi saat mengantarkan makanan.

***

Satu minggu setelah kejadian di rumah Arkanayaka, Zai merasa pengawal yang berada di sekitarnya berkurang. Hanya satu orang pengawal yang tinggal bersama dengannya yang masih terus berada di sekitarnya. Satu pesan masuk ke ponsel Zai dan pesan itu membuatnya berdiri. Ia bergerak cepat meraih jaketnya dan langsung memesan ojek online.

Zai berdiri sendirian di depan gudang tua. Ia sempat mengirim pesan pada Tama dan memberitahu pesan yang dikirimkan oleh orang asing ke nomornya. Pesan itu membuat Zai penasaran dan akhirnya datang ke tempat itu sendirian. Zai masuk ke gudang kosong itu dengan tangan hampa dan tanpa persiapan. Ia hanya ingin memastikan kata-kata dari orang yang mengirimkan pesan padanya.

"Zaivan Arkanayaka, saya kira kamu tidak akan datang sendirian." Seseorang berbicara dari balik ruangan yang gelap. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari pintu masuk yang terbuka. Gudang itu memiliki beberapa mesin lama tidak terpakai yang ada pada sisi kanan dan kirinya. Ventilasi udara juga sangat minim. Hanya ada empat baling-baling kipas yang bergerak tertiup angin.

"Siapa kamu?" Zai berusaha berbicara dengan tenang.

"Kamu seharusnya mengenali saya." Laki-laki itu maju dan mempersempit jarak di antara mereka. Laki-laki itu kini berada 3 meter di depan Zai.

Zai bisa melihat kalau laki-laki itu mengenakan pakaian serba hitam dan ada sesuatu di tangan kanannya. Zai tidak bisa melihat benda itu dengan jelas karena laki-laki itu meletakkannya agak di belakang.

"Prosopagnosiamu pasti sangat menyebalkan. Kalau sekarang, kamu bisa mengenali saya?" Laki-laki itu mengangkat benda yang ada di tangan kanannya dan memakainya.

Tangan Zai gemetar. Matanya juga ikut bergetar. Ia mengenali topeng itu. Topeng itu terbuat dari besi atau aluminium yang berkilau jika terkena cahaya. Laki-laki itu adalah pria yang sama dengan pria yang muncul dalam mimpinya. Keringat mulai muncul di dahi Zai.

"Saya punya banyak kesempatan untuk menghancurkan keluarga kalian, tapi sepertinya melihatmu dan ayahmu menderita cukup menyenangkan. Jadi, kira-kira apa yang mau kamu lakukan selanjutnya Arkanayaka?" Pria itu berjongkok dan menyentuh lantai gudang. Ia meniup debu yang ada di tangannya setelah menyentuh lantai itu.

"Saya bukan lagi bagian dari Arkanayaka." Suara Zai bergetar saat mengatakan kalimat itu. 

Pria tadi tertawa dan kembali bangkit dari posisinya. Ia mengeluarkan pistol dari sakunya dan mengacungkan pistol itu ke arah Zai, "Sudah ingin mati sekarang, Arkanayaka?"

Dada Zai jadi sesak. Tangannya tidak mau diajak bekerja sama. Kakinya terasa sangat berat dan ia tidak bisa mengangkat kakinya untuk melangkah. Degup jantungnya juga semakin kencang. Zai menutup mata dan mengembuskan napas pasrah. Satu letusan terdengar.

Zai membuka mata cepat. Ia langsung menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Tama yang tengah berdiri sambil mengacungkan pistol ke arah pria tadi. Mata Zai bergerak cepat mencari pria tadi.

Pria tadi masih berdiri di sana dan kini ia tertawa, "Kamu pasti Naratama. Tembakan peringatan tidak akan mampu membuat saya takut."

Tama bergerak pelan dan berdiri tepat di depan Zai. Ia masih mengacungkan pistolnya ke arah pria tadi, "Anda terlalu berani bermain-main dengan keluarga Arkanayaka."

Zai masih berdiri kaku di tempatnya. Ia berusaha mencerna semua yang terjadi di hadapannya.

"Sudah lama saya bermain-main dengan keluarga Arkanayaka. Ingat Indira? Saya sangat senang bermain-main dengannya dulu." Pria itu menurunkan pistolnya dan menerawang ke arah ventilasi.

Tama menoleh pada Zai dan berbisik pelan, "Tetap berdiri di situ, Zai. Satu tindakan ceroboh bisa melukai kita."

Satu nama yang keluar dari mulut pria itu membuat banyak pertanyaan muncul di kepala Zai. Ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Indira pasti adalah salah satu dari keluarga Arkanayaka. 

"Saya rasa reuni hari ini cukup. Mungkin lain kali kita bisa berbincang lebih lama." Laki-laki itu menarik satu tuas yang berada di dekatnya dan hal itu membuat pintu sebuah kontainer terbuka. Zai bisa melihat sebuah sepeda motor ada di ddalam kontainer itu. Dengan santai, pria tadi mengendarai motornya dan melewati Tama dan Zai.

Tama terus mengacungkan pistolnya ke arah pria tadi hingga pria itu tidak lagi terlihat. Ia berusaha tetap waspada karena keselamatan mereka masih terancam.

Begitu kondisi dinilai sudah aman, Tama menurunkan pistolnya dan menatap Zai serius, "Kamu nggak apa-apa, Zai? Ada yang terluka?"

Zai hanya mampu mengangguk. Tangannya masih bergetar hebat dan kini suaranya pun sepertinya enggan keluar.

Tama menuntun Zai memasuki mobilnya. Mereka melintasi jalan yang bukan mengarah ke indekos Zai. Jalan ini adalah jalan menuju rumah Arkanayaka.

"Gue nggak mau ke sana." Zai menyampaikan keinginannya dengan suara pelan.

"Satu-satunya tempat teraman untuk saat ini adalah rumah Arkanayaka. Kamu nggak tahu siapa saja yang bisa melukaimu sekarang." Tama berbicara dengan suara yang sedikit membentak. 

Zai batal protes karenanya. Akhirnya, Zai duduk pasrah dan kembali menyelami pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. 




Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 21

18 Oktober 2020

Gelembung Mimpi ✓Where stories live. Discover now