Serangan di Hari Libur

153 32 17
                                    

Sesaat setelah Devan membuka pintu rumahnya pada pagi pukul lima, dia langsung menyesalinya.

Bukan menyesal lantaran Siena yang pagi-pagi mengganggu rencana tidur bersambungnya setelah salat Subuh, melainkan penampakan Rosa yang berdiri di belakang Siena dalam balutan pakaian rapi beraroma semerbak wangi. Mirip kalau anak bos mengerikan itu berencana keluar untuk membuat masalah dan menyusahkan orang lain.

"Tumben jam segini Siena sudah bangun? Biasanya kalau Minggu, maunya bangun siang?" Devan membungkuk untuk mensejajarkam tinggi badannya dengan sang putri yang juga sudah tampil cantik; mengenakan gaun selutut motif bunga-bunga berwarna merah dan dua buah kunciran di kepala.

Tak lupa, Devan mengusap lembut pipi Siena agar gadis yang mudah ketakutan itu tak salah paham dan mengiranya sedang kembali marah.

"Kak Rosa bilang, hari ini kita mau jalan-jalan ke pantai."

Mendengar jawaban polos Siena, Devan seketika melirik Rosa yang langsung buang muka. "'Kita' dalam rencana itu, apakah termasuk Papa?" Devan bertanya lagi untuk memastikan. Dan anggukan Siena berhasil membuatnya menghela napas panjang selama proses kembali berdiri tegak. "Kenapa suka sekali bicara sembarangan kepada anak-anak?"

Menyadari pertanyaan Devan tertuju padanya, Rosa segera menoleh lagi sambil memperlihatkan wajah pura-pura bodoh. "Kamu ngajak aku ngomong?"

Devan melipat bibir ke dalam, mengantisipasi kalau-kalau ini tidak akan pernah berakhir sebagaimana yang ia harapkan. Seharusnya di hari libur ini tidak akan ada yang merusak waktu bersantainya.

Semestinya, ini adalah hari tenang dan bisa dilalui penuh suka cita sambil menghabiskan waktu berdua bersama Siena saja. Akan tetapi, dalam sekejap, Rosa sudah berhasil merusak rencana hari indah Devan dengan kehadirannya yang selalu diikuti masalah.

"Seharusnya Ibu tidak memberi tahu Siena soal rencana bepergian ke pantai. Saya tidak memiliki rencana untuk—"

"Tahan!" Rosa menyela sambil meletakkan ujung telunjuk ke mulut Devan. "Pertama-tama, ini peringatan terakhir. Berhenti ngomong formal di luar jam kerja dan manggil aku Ibu. Usiaku lebih muda dari kamu dan aku masih gadis. Kalau kamu masih keras kepala, jangan salahkan bibirku kalau pada akhirnya mendarat mulus di bibir kamu yang suka ngeyel itu. Kedua ...." Rosa melirik Siena sekilas sambil tersenyum lebar padanya. "Aku nggak berniat ngasih janji kosong ke Siena karena hari ini aku emang pengin mantai."

"Membuat rencana tanpa persetujuan saya adalah—" Lagi-lagi Devan tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Namun kali ini bukan karena Rosa menyela atau dengan tanpa sopan kembali meletakkan telunjuk ke mulutnya begitu saja, tetapi lebih dari itu, Rosa langsung mendekatkan wajah ke wajah Devan seolah-olah hendak menciumnya. Mencium bibirnya sebagaimana peringatan yang diberikan.

"Beneran mau kucium?" desah Rosa menggoda.

Posisinya sudah begitu dekat sehingga Devan bisa merasakan hangat embus napasnya dan segera menarik diri mundur beberapa langkah, sembari terlihat jelas berusaha menyembunyikan pipi putihnya yang sempat merona untuk beberapa saat akibat kejadian "nyaris berciuman" yang baru saja disebabkan Rosa.

Akan tetapi, harapan Devan agar tidak ketahuan kalau dirinya tengah tersipu sepertinya gagal lantaran Rosa tidak sebodoh yang Devan harapkan untuk saat ini, dan gadis itu telah melihat rasa malu Devan lebih baik daripada Devan sendiri. "Sikap malu-malu tandanya kamu masih normal. Syukurlah. Pengkhianatan dan perceraian nggak bikin kamu jadi nggak bernafsu sama perempuan. Jadi ... buruan mandi dan ganti baju. Habis itu kita berangkat. Kita harus meluangkan banyak waktu untuk pe-de-ka-te, kan?"

Berburu Duren (End) Where stories live. Discover now