07 : Permainan Takdir

1.1K 236 21
                                    

"Om beli buku juga?" tanya Aslan begitu ia menemukan Wonwoo setelah berkeliling dari rak ke rak lain untuk mencari lelaki berkacamata ini.

"Ya. Mumpung lagi di Jakarta. Saya mau beli buku Bahasa. Agak muak saya baca buku English dan bahasa Jerman di Berlin."

Aslan tertawa kecil. Dia melirik buku yang tengah diteliti Wonwoo yang berjudul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson versi Bahasa Indonesia. "Setau saya, seni adalah ledakan. Katsu!"

Suara Aslan yang meninggi di akhir kalimat membuat Wonwoo sedikit tersentak, kemudian ia menatap tajam remaja laki-laki yang menaikkan alis sebelah begitu mata mereka bertemu.

"Teori dari mana seni adalah ledakan?" tanya Wonwoo, heran.

"Deidara senpai, Om. Banci taman lawang Iwagakure." Aslan menggedikan bahunya ringan.

"Ngaco. Dasar wibu."

Mereka tertawa ala orang tampan setelah itu. Lalu menuju ke kasir untuk membayar buku yang dibeli sebelum mampir ke salah satu tempat untuk mengisi perut.

"Udah bilang mama kamu belum, kalau pergi sama saya?"

Aslan melirik arloji di tangan kirinya lalu menggeleng. "Lupa. Untung Om Wonwoo ingetin." Ia langsung mengeluarkan ponsel dan mengetikkan pesan pada Yerin. Kemudian meletakkan ponselnya di atas meja setelah itu. "Saya ke toilet sebentar, Om." Dan remaja itu langsung beranjak dan meninggalkan meja.

Wonwoo hanya mengangguk dan melanjutkan makan siangnya sembari mengecek isi email yang masuk di ponselnya.

Ketika ia merasakan ada sebuah getaran di meja, ia melirik ponsel Aslan. Ternyata ada panggilan masuk dan tertera kontak Mama di tampilan ponsel itu.

Kegiatannya terhenti untuk mengambil ponsel itu. Wonwoo memandang ponsel milik Aslan yang terus bergetar di tangannya tanpa berniat menghentikannya dengan menjawab panggilan masuk tersebut. Rasanya tidak sopan jika ia menjawabnya. Wonwoo membiarkan ponsel itu bergetar sampai akhirnya berhenti, dan membuat jantungnya berdebar bukan main setelah itu.

Tampilan lockscreen pada ponsel Aslan yang membuat jantungnya berdetak hebat sampai tangannya bergetar.

Wonwoo melepas kacamatanya sejenak, lalu memakainya lagi. Kemudian mengerjap sebelum melihat kembali tampilan lockscreen ponsel Aslan. Dia menggeleng pelan, tidak percaya. Lalu mengembalikan ponsel Aslan pada tempatnya dengan tangan yang bergetar.

Wonwoo terdiam. Membiarkan makanannya mendingin sampai Aslan tiba dan menegurnya.

"Woi! Jangan bengong, Om." Aslan duduk di kursinya dan mengambil ponselnya yang masih menyala dengan dahi mengernyit.

"Mama kamu telepon tadi," ucap Wonwoo.

"Nggak percaya dia ini, makanya telepon saya." Aslan terkekeh. Dia mengetikkan sebuah pesan untuk Yerin yang berisi: Sorry, Ma. Aslan abis ke toilet tadi. Oh iya, Aslan lupa bilang. Mama masak apa hari ini? Kalo masak banyak, jatah makan siang Aslan dibungkus aja di tupperware. Nanti pas pulang, Aslan mau ngasih makanan itu ke orang yang sekarang lagi sama Aslan sebagai imbalan. Gapapa kan, Ma?

Setelah terkirim, tak lama kemudian ia mendapat balasan setuju dari Yerin. Aslan tersenyum, lalu meletakkan ponselnya kembali dan melanjutkan makan siangnya.

Alisnya bertaut heran begitu melihat Wonwoo di hadapannya yang hanya berkutat dengan ponsel. "Makanannya belum diabisin tuh, Om," tegur Aslan, sebelum memasukkan daging ke dalam mulutnya.

"Saya udah kenyang."

"Oh, yaudah." Aslan kembali mengunyah daging panggang dalam mulutnya.

"Setelah makan, kamu akan saya antar pulang. Saya ada urusan lain, nggak bisa lama-lama."

Aslan mengangguk dengan perasaan heran akan perubahan sikap Wonwoo saat ini. Pria itu tampak dingin dan wajahnya lebih datar dari biasanya. Membuat Aslan urung untuk mengajaknya bicara.

"Terimakasih banyak, Om. Udah nampung saya kemaren malem, terus ngajak saya makan," kata Aslan, setelah keluar dari mobil bersama Wonwoo.

Lelaki itu terdiam. Tidak menanggapi remaja di sebelahnya dan memilih menatap rumah besar berlantai dua di hadapannya. "Ini rumah kamu?" tanya Wonwoo.

"Iya. Rumah mama saya lebih tepatnya," jawab Aslan, bangga. "Oh iya, sebentar, Om. Saya panggil mama saya dulu. Ada yang mau dia sampein ke Om Wonwoo." Aslan langsung masuk lewat pintu gerbang yang terbuka kecil, mengabaikan Wonwoo yang tidak menyetujui perintahnya.

"Aslan pulang, Mama!" Teriaknya begitu masuk ke dalam rumah dan menjumpai Yerin berdress kuning pastel santai dengan tas kecil berisi kotak makan di tangannya.

"Mana orangnya, Sayang?" tanya Yerin, setelah mendapat kecupan singkat di pipinya dari Aslan.

Aslan mengantar Yerin ke depan pintu dan menunjuk Wonwoo yang berdiri membelakangi gerbang. "Tuh. Yang pake baju putih sama topi," jawabnya. "Aslan masuk duluan ya, Ma. Ada zoom meeting wajib buat pembahasan ujian sebentar lagi. Aslan kelupaan, harus on time." Dan ia meninggalkan Yerin yang masih memandang sosok tinggi yang berdiri di depan gerbang rumahnya.

Yerin terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang sebelum melangkahkan kakinya menuju gerbang.

"Halo, selamat siang, Pak." Yerin menyapa disertai senyum terbaiknya​ ketika sudah berada di dekat lelaki berkaos putih itu. "Saya mamanya Aslan. Terima kasih udah mau nemenin anak saya kemarin dan hari ini." Tak dapat dipungkiri, Yerin gugup meski ia tidak berhadapan langsung dengan lelaki yang masih betah membelakanginya.

Yerin terdiam. Menunggu balasan dari lelaki itu. Di sela keheranannya, ia menyadari ada sesuatu yang aneh di sekitarnya tiba-tiba. Ingatannya menyebut sesuatu. Sosok ini tidak asing dalam memorinya. Dari belakang dan ditilik dari tinggi badan dan postur tubuhnya.

Yerin menggigit bibirnya gelisah. Indra penciumannya menangkap sesuatu yang tidak asing. Sesuatu yang sempat mengganggunya tadi pagi.

Woody chypre yang menenangkan ini, sama seperti yang ada di kaos yang Aslan pakai tadi pagi. Dan aroma ini lebih jelas dari yang ada di baju Aslan. Aroma yang membuat hidungnya tidak henti menghirupnya lebih dalam karena Yerin... Rindu aroma ini.

Jantungnya berdetak tak karuan, darahnya berdesir hebat. Ia masih diam, menunggu siapa yang ada dibalik aroma yang sangat ia rindukan.

Satu, dua, tiga, empat, dan lima.

Di detik ke enam, Yerin merasakan panas menerpa kedua matanya, tepat ketika sosok tinggi itu membalikkan badannya.

Mata sipit di belakang kacamata bening itu, hidung, bibir, dan aroma itu membuatnya memutar kembali memori yang sudah ia simpan rapat-rapat dan tersembunyi di dalam ingatannya.

Pria itu, Jeon Wonwoo. Laki-laki yang pernah menorehkan luka paling parah dalam hidupnya.

Yerin tersenyum simpul, membuang tawa hambar sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain, menyembunyikan bendungan air mata yang siap tumpah. "Sialan," gumamnya pelan.

Yerin tahu, semesta mulai mempermainkan takdir untuknya mulai sekarang.



Terimakasih​ sudah membaca! Terimakasih juga atas vote dan comment nya! Sampai jumpa di chapter selanjutnya besok ><

30.10.2020

crossroads // wonwoo+yerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang