Tragedi Meninggalkan Duka

136 73 190
                                    

HAPPY READING! (☆▽☆)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAPPY READING! (☆▽☆)

"Tragedi yang kelam yang dapat membuatku sangat terpuruk dan terlanjur sudah tergambar jelas pada memoriku jika aku mengingat sekilas kembali kejadiannya. Aku hanya ingin untuk melupakan memori ini selamanya. Aku hanya ingin untuk kembali bangkit kembali dan meraih impianku sekuat tenaga dan batinku."


_____________________

Suatu hari seperti biasa diriku berjalan untuk pergi ke sekolah dan sekolahku tidak terlalu jauh dari rumahku maka aku bisa berangkat dengan hanya berjalan kaki saja. Setibanya di sekolah aku duduk di bangkuku, waktu masuk kelas masih lama sekitar 30 menit. Aku berinisiatif untuk membaca buku agar aku juga dapat untung ilmu meski sedikit-sedikit. Dengan setiap hari membaca buku maka aku percaya ilmu yang aku dapat akan kelamaan menjadi bukit. Biasanya saat aku ujian, aku bisa teringat jawaban karena aku sering membaca buku pelajaran.

Kemudian waktu masuk kelas pun telah tiba, aku menghentikan kegiatan membacaku lalu aku segera duduk dengan sigap seperti seorang pelajar sejati siap menangkap materi dengan cermat. Beruntungnya waktu pelajaran berjalan sesuai keinginanku, semua lancar dan waktu istirahat telah tiba.

"Hai Bina, mengapa kau melamun seperti orang tak waras saja?" kata Quina yakni siswa yang tak pernah bisa menganggapku teman yang tatapannya kini sangat tajam padamu.

Semua teman-teman secara serentak tertawa. Aku hanya bisa diam. Rasanya diriku hanya memiliki dua teman setia dan selalu mendukung diriku dalam kelasku yaitu Winda dan Abian. Dari sejak taman kanak-kanak hingga sekarang tetap satu kelas. Mereka datangiku dan menepuk-nepuk punggungku pertanda aku harus kuat dan jangan terpengaruh dengan perkataan Quina.

"Bina, tenanglah jangan anggap omongannya yang tak berguna itu merasukimu" Winda menenangkan diriku yang sedang mengepalkan tanganku pertanda emosiku disuruh datang tanpa kuinginkan.

Abian pun berkata pada Quina, "Apakah di dunia ini tak pernah ada sekali pun orang yang melamun selain Bina? Kau seharusnya menanyai tentang alasan Bina melamun tapi kau malah menghinanya, jahat sekali!"

"Aku tak peduli." balas Quina dengan ketusnya.

"Dasar kepala batu ya kamu itu!Ayo Bina, pergilah bersama kami ke kantin dan kau akan lebih baik-baik saja dengan kami, lupakan saja perkataan mereka!" Winda menyeret tanganku untuk membawa pergi dari kelas dan kami pun ke kantin bersama.

"Awas ya kamu Bina!" tantang Quina yang sedang emosi hingga teman-temannya takut di sampingnya.

Setelah waktu pelajaran kembali lagi dan semua berjalan lancar meski aku melirik tanpa sepengetahuannya Quina, ternyata dia memerhatikan aku dengan sorot mata tajamnya. Kupikir mungkin dia masih marah terhadapku sampai sekarang dan itu membuat diriku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan agar aku tenang.

Setelah bel pulang berbunyi, Aku pun ingin pulang dengan hendak berjalan kaki. Dari dulu memang aku suka berjalan kaki karena menurutku sangat sehat bagi jiwa ragaku. Salah satu alasannya juga karena aku belum pernah punya sepeda dan takut membebani Ayah atau Ibu jika aku memintanya. Karena aku menyadari bahwa aku dari orang yang tak begitu mampu. Tiba-tiba Abian dan Winda datang dengan sepedanya kepadaku.

"Bin, ikut saja bersama kami! Aku bonceng sampai ke rumahmu! Gratis deh buat kamu, ya kan Win?" ajak Abian kepadaku.

"Iya betul itu Abian, Ayo ikut saja Bina! Nurut aja dah, hehe!" ucap Winda dengan semangatnya yang selalu sama bagiku, dia memang anak yang memiliki semangat yang membara hingga ia selalu bisa diandalkan di sekolah dalam berlomba. Salah satunya lomba menari dan berpuisi.

Aku pun tidak bisa menolak ajakan sahabatku, aku pulang hari ini tidak terlalu berkeringat seperti biasa karena terik mentari dan itu semua karena sahabatku. Aku berterima kasih kepada mereka dan lekas masuk rumahku. Rumahku terkunci, ini membuatku bingung dan aneh karena biasanya tidak terkunci seperti ini meski aku punya kunci cadangan khusus buatku yang kini aku bawa untungnya. Lalu segera kumanfaatkan kunci tersebut untuk membuka pintu rumahku. Namun lagi-lagi kudapati Ibuku tidak di rumah, suasana rumah sunyi mendekap hatiku. Jikalau Ayahku pasti memang masih bekerja, tapi bagaimana dengan Ibu? Ke mana Ibu pergi? Aku dipenuhi dengan rasa khawatir dan sekarang aku hanya bisa di rumah. Aku tidak berani keluar rumah tanpa seizin Ibu karena Ibu berpesan setelah pulang sekolah aku harus tetap di rumah jika suatu hari Ibu sedang keluar kecuali aku sudah minta izin kepadanya.

Aku menunggu dengan sabar dan tenang di kamarku bersama buku-buku kesayanganku. Hingga pukul 13.00 Ibu belum datang dan hampir setengah jam aku menunggu tiada hasil. Kemudian aku dengar pintu terbuka pertanda ada orang yang masuk, padahal aku sudah mengunci pintunya. Berarti Ibu atau Ayahlah yang bisa membuka, maka salah satu darinya telah pulang. Aku berlari dengan riang hingga aku hampir terpeleset dan yang telah tiba adalah Ibuku.

"Ibu, dari mana saja Ibu? Aku khawatir kepadamu Ibu." tanyaku pada ibu.

Sepertinya Ibu sedang marah dan Ibu tidak menjawab pertanyaan dariku membuatku ikut sedih karenanya. Ibu menutup mata seperti ingin menangis dan langsung lekas ke kamarnya dengan menutup pintu. Aku syok dengan kelakuan Ibuku dan aku terus berada di depan pintu kamar Ibu sambil berteriak-teriak untuk membuka pintunya dan agar Ibu memberitahuku apa yang terjadi sebenarnya. Itu semua sia-sia, aku tertidur pulas di depan pintu kamar Ibuku sambil duduk karena lelahku yang tak bisa kutahan kembali.

Akhirnya Ayah datang dan dia terkejut karena aku tidur di atas lantai yang dingin sambil menangis. Dia langsung membangunkan aku dengan lembut.

"Bina, kau harus masuk kamarmu saja ya! Aku akan bicara baik-baik bersama Ibumu, semua akan baik-baik saja. Percayalah Putriku!" kata Ayahku sembari mengelus rambutku dengan lembut.

Aku tak mau banyak tanya meski dalam hati tak bisa aku tahan lagi derita di mana aku melihat pertama kali Ibuku menangis dan bahkan sempat mengabaikan diriku.
Apa yang menjadi masalah semua ini? Aku harap Ayah menyelesaikan semuanya agar kembali seperti semula. Aku bahkan belum makan siang, biasanya seperti ini kami selalu makan siang bersama dan saling berbagi kelucuan atau kejadian di saat menjalani hari ini. karena setiap makan bersama kami selalu berbagi segala cerita yang dilalui di hari tersebut. Semua itu membuatku sedih dan dirundung kegelisahan.

Awalnya aku merasa tenang sejenak dan lega meski itu hanyalah berlangsung sebentar. Namun tiba-tiba aku dengar Ibu dan Ayah saling berteriak dan terdengar perkataan mereka yang saling menyalahkan satu sama lain dan saling menarik-narik tangan mereka. Entah aku tak mengerti apa yang menjadi masalah antara Ayah dan Ibuku. Mereka ditelan maut amarah. Aku takut untuk keluar dari kamarku. Aku hanya bisa diam dan mendengar dibalik tembok kamarku sambil mengintip sedikit dari pintu kamarku tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibuku. Aku menangis meratapi semua yang terjadi. Aku tak bisa tidur semalaman karena tragedi ini. Meski Ibu dan Ayahku telah ketiduran. Namun aku tetap berlinang air mataku di gelap hitam malam tanpa sinar bulan terpapar.

••••

Kalau teman-teman senang dengan cerita ini!😊💟
Kalian bisa memberi vote untuk saya! Karena satu vote dari kalian sangat berharga untuk saya dalam membangun semangat saya untuk terus melanjutkan cerita ini!😆💕
Jika berkenan, kalian bisa juga memberi kritik dan saran seperti berupa koreksi dalam cerita di komen!🙏🏻😊
Pasti akan saya respon dan betulkan segera. Terima kasih 🙏🏻😆🌟

SIKLUS TAKDIRKU [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang