Kebahagiaanku Mulai Pudar

94 54 32
                                    

HAPPY READING! (◠‿・)—☆

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

HAPPY READING! (◠‿・)—☆

"Kini kuingin mengobati dukaku dalam hati terdalam dan melarang hatiku yang selalu ingin merindukanmu Ayah, meski aku tidak mampu untuk melarangnya lagi dan lagi."


_____________________

Di kala mentari menyingsing dan menyilaukan mata dengan sinar hangat khasnya dari langit, aku dengar Ayahku membuka pintu rumah dan dia seperti hendak pergi. Aku menengok dari pintu kamarku. Aku pun sontak langsung berlari ke Ayah dan aku memeluk Ayahku dengan sangat erat.

"Ayah mau ke mana? Jangan pergi Ayah!" teriakku dengan bercucuran air mataku.

"Tidak, Putriku. Ayah harus pergi. Maafkanlah Ayah, Putriku!"

Ibu pun keluar dari kamar dengan tampang dingin dan sinis terhadap ayahku. Kemudian Ibuku menghampiri Ayah dan aku dengan amarahnya dan dia menarik paksa tanganku agar lepas dari genggaman Ayahku.

"Bina, jangan mendekat dengan Ayahmu. Dia bahkan sudah tak pantas disebut Ayah. Biarkanlah dia pergi jauh dari kita, tetaplah bersama Ibu ya, Bina!" Dengan tatapan tak peduli dan memelukku erat, Ibuku pun tak menumpahkan air matanya sedikit pun.

Ayahku hanya memasang wajah kecewa dan murung sambil membawa kopernya. Aku tak tahan lagi dan berlari ke Ayah, Ibuku terkejut seketika.

"Ayah jangan pergi, aku akan ikut Ayah saja. Mengapa Ayah harus pergi, kita bisa bersama lagi, kan?" tanyaku dengan penuh harap pada Ayah sambil memeluknya.

"Tidak, Putriku. Itu tidak benar, semua ini memang salah Ayah. Kamu harus ikut Ibumu dan Ayah akan hidup dengan berharap kamu bahagia bersama Ibumu. Ingatlah suatu peribahasa Anakku bahwa 'tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang mampu mengalahkan cinta seorang Ibu' Ayah pun tak bisa menyaingi kasih sayang Ibumu, jangan pernah buat Ibumu sedih ya, Putriku! Ayah akan selalu mengingatmu Putriku." ungkap Ayahku dengan melambaikan tangannya kepadaku dan i
ibu seraya pergi dalam kabut pagi.

Ibu kemudian mengajakku berpelukan bersamanya untuk obat sesak hatiku karena ditinggalkan Ayah. Orang yang paling berharga bak permata paling bercahaya yang selalu ada bersamaku. Kini beliau telah pergi, aku murung selama hari yang kujalani tersebut.

Ibuku selalu menghiburku dengan riangnya agar aku bisa lupa dengan tragedi tersebut. Tragedi yang membuatku seperti tak ada jiwa dalam diriku yang bisa menghidupkan diriku. Perkataan Ayah selalu terngiang-ngiang dalam hatiku di umurku yang masih 7 tahun ini. Ibu selalu memberiku kecupan saat akan tidur dan Ayahku selalu membacakan buku cerita untukku setiap akan tidur setiap hari. Kini beda semua ibu yang selalu membacakan aku buku cerita dan memberiku kecupan. Tetap saja semua rasa perbedaan ini sangat menusuk hatiku dengan tajam dan curamnya lembah dukaku ini sangat dalam.

 Setelah usai sebulan semenjak Ayahku telah pergi. Seperti biasa aku berangkat sekolah dengan bersepeda, sebenarnya aku tak minta untuk dibelikan namun Ibuku dengan harapan agar aku bisa tersenyum kembali maka beliau membelikan aku sebuah sepeda. Semua itu aku terima dan aku tersenyum saat itu. Karena selama sekian lama tak pernah lagi terlihat senyumku sejak kejadian itu dan mungkin itulah yang mendorong Ibuku untuk membelikan aku sebuah sepeda. Kini perasaanku lebih lumayan. Karena dulu pernah diriku sampai akan tertabrak mobil namun Tuhan berkehendak lain aku selamat dari tabrakan yang akan terjadi itu saat seminggu setelah Ayah pergi lalu.

SIKLUS TAKDIRKU [On Going]Where stories live. Discover now