Part 9 - His Bad Luck

241 33 0
                                    

Kopinya sudah tandas dari satu jam yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kopinya sudah tandas dari satu jam yang lalu. Arga melirik jam dinding di kamarnya, sudah hampir pukul sepuluh malam.

Selepas isya' tadi lelaki berhidung mancung ini sudah tiba di rumah, padahal ajakan berpesta sudah muncul berkali-kali di ponselnya. Apa daya kali ini Arga harus berkonsentrasi, terhadap proyek Bali ini.

"Nanti kalo udah kelar nih proyek, aku mau pesta sepuasnya!" Janjinya dalam hati.

Kakaknya yang gila kerja itu baru sampai di rumah jam sembilan malam, entah apa saja yang diperbuat di kantor. Arga sungguh heran, kenapa Raka tak pernah pulang tepat waktu. Jangan-jangan si Tuan Sempurna itu mengencani sekretarisnya yang cantik jelita. Jadi kakaknya si Sempurna itu menghabiskan sisa waktu kerjanya untuk percintaan panas di kantor dengan dalih lembur. Namun, membayangkan si Kaku itu berdekatan dengan perempuan sepertinya tak mungkin. Karena setahu Arga, Raka itu kaku layaknya Kanebo kering. Mungkin orang-orang akan lebih maklum, apabila yang melakukan itu semua adalah dirinya. Arga, si Anak Nakal bercinta dengan sekretarisnya yang cantik di ruangan.  Lalu kemudian ia harus siap dicekik oleh papanya dan dibuang ke Poernomo Boga Industries cabang Timbuktu. Tidak, terima kasih, Arga masih waras dan mau hidup enak.

Lelaki itu kemudian berdiri dari kursinya dan meregangkan tubuhnya yang kaku karena terlalu lama duduk.  Ia mengambil ponselnya dan mulai membuka-buka aplikasi instagram. Postingan terbaru Anya langsung muncul di feed miliknya. Ratu pestanya itu memiliki follower hampir 6.5 juta, dan tentunya bisa jadi lebih banyak follower laki-laki daripada perempuan. Foto-fotonya selalu seksi dan pakaiannya selalu mempertonton asetnya dengan sempurna.

"Arga, kok kamu nggak datang sih?" Sebuah pesan datang dari gadis itu di ponselnya.

Seperti tahu kalau sedang dipikirkan, Anya muncul di direct message-nya.

"Hi A, sorry been busy. Aku bener-bener lagi banyak kerjaan, Sayang. I'll see you soon," balasnya cepat. Ia tidak ingin ratu pestanya merasa sakit hati karena diabaikan oleh Arga.

"Yaah, jangan lama-lama sibuknya. Kamu nggak kangen aku?"

Sungguh itu adalah sebuah pertanyaan retoris, yang tak perlu dijawab. Tentulah, ia lebih kangen pada Anya daripada si Kerempeng yang ada di bawah. Ngomong-ngomong, di mana si musang berbulu domba kesayangan Raka itu, daritadi Arga tidak mendengar suara cemprengnya sama sekali.

"Kemana bocah itu," batin Arga.

Ia segera membalas pesan Anya, kemudian mengantongi ponselnya dan segera keluar kamar. Siapa tahu ia bisa mencari cemilan untuk dimakan guna meredakan perutnya yang tiba-tiba lapar.

Pintu kamar Raka tertutup, mungkin kakaknya itu sudah terlelap. Tadi di kantor mereka berdebat lagi masalah perusahaan yang Arga rekomendasikan untuk memasok perlengkapan Etoile Cafe. Lagi-lagi kakaknya itu meragukan pilihannya.

"Kamu yakin kamu nggak salah pilih seperti kemarin?" Raka memandangnya dengan dingin.

"Mas, aku sudah tahu reputasi perusahaan tersebut. Makanya aku rekomendasikan," jawab Arga mencoba bersabar dengan kakaknya.

"Coba tolong kamu bikinkan dulu rencana cadangan, seandainya rencana ini tidak berjalan lancar." Titah kakaknya itu sambil membalikkan laptop kembali menghadap ke Arga.

"Mas, kamu nggak bisa lebih percaya sama penilaianku?" Arga menatap si Tuan Sempurna dengan penuh kecewa.

"Arga, please, ini bukan masalah percaya apa nggak. Sebagai pimpinan kamu harus siap dengan berbagai macam kemungkinan dan masalah yang datang." Raka menautkan kedua tangannya dan mulai bicara lagi. "Ini bisnis, Ga, kamu mesti melakukan segalanya dengan baik, dan memperhitungkan untung ruginya."

Mengingat percakapannya dengan Raka tadi sungguh membuat moodnya berantakan. Ia benci kakaknya yang selalu benar. Tuan sempurna yang selalu terkendali, penuh perhitungan, patuh dan menjadi kebanggaan orang tua. Tidak seperti dirinya, anak nakal, serampangan, ceroboh, tukang mabuk dan segudang stigma buruk lainnya melekat padanya.

Arga baru saja turun ke dapur untuk mengambil air minum, kemudian melangkahkan kakinya keluar ke arah kolam renang. Ia menyipitkan mata saat melihat seseorang duduk bersila di tepi kolam. Hampir saja dirinya mengira melihat makhluk halus, karena malam-malam seperti ini ada sesuatu berbaju hitam di keremangan malam.

Ia kemudian membuka pintu kaca yang mengarah ke kolam renang dan berjalan mendekati sosok yang masih diam di tepi kolam.

"Sedang apa si melarat itu di tepi kolam?" batinnya bertanya-tanya.

Bukan Arga namanya, kalau melihat hal seperti itu tidak muncul keinginan untuk mengerjai si Melarat itu. Sambil mengendap-endap dan berusaha berjalan tanpa suara agar bisa tiba tepat di belakang Erina, tanpa diketahui oleh gadis itu. Lalu dengan sekuat tenaga, Arga mendorong gadis itu hingga jatuh ke dalam kolam renang diiringi suara byur dan percikan air. Tubuh tinggi lelaki itu berguncang hebat saat ia tertawa terbahak-bahak menyaksikan Erina terkejut dan kesusahan.

Gadis itu tampak kesulitan dan menggapai-gapai dengan panik ke permukaan. Arga langsung waspada dan sontak berhenti tertawa. Matanya langsung dengan awas memindai, dan menyadari ada perban di kaki gadis itu. Dengan segara lelaki itu terjun ke dalam kolam renang untuk menarik Erina agar tidak tenggelam.

Dengan susah payah, Arga membawa gadis itu ke tepian dan menaikkannya ke tepi kolam renang. Ia melihat Erina terbatuk-batuk sesaat, dan bernafas terengah-engah.  Arga ketakutan, dihantui pikiran hampir saja ia membunuh si Melarat itu dengan membuatnya mati tenggelam.

"Kamu nggak apa-apa?" Arga bertanya sambil berjongkok di depan Erina, agar ia dapat melihat wajah gadis itu.

"Mas Arga, mau bunuh aku?" sergah Erina marah disela-sela gigil. "Kenapa diselametin? Biarin aja aku mati sekalian!" Erina membentaknya dengan penuh amarah, lalu meledak dalam tangisan.

Arga bengong, baru kali ini ia melihat Erina menangis tergugu di hadapannya. "Er..., masuk yuk, baju kamu basah. Nanti masuk angin," bujuk lelaki itu pada Erina.

Ia kemudian berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Erina berdiri, yang langsung ditepis dengan kasar oleh gadis itu.

"Aku bisa sendiri!" bentak Erina lagi.

Arga membiarkan gadis di hadapannya itu berjalan ke dalam rumah, dan ia kembali memandang telapak kaki berbalut perban, lalu ke Erina yang berjalan terpincang-pincang.

"Sial," gumam lelaki itu, lalu dengan cepat meraih dan menggendong Erina.

"Apa..., Apaan sih?" Gadis itu berseri kaget.

"Udah, jangan berisik, pegangan yang kenceng tar jatuh." Arga berkata sambil berjalan ke dalam rumah menggendong Erina.

Gadis itu terasa ringan di pelukannya. Mungkin karena ia terlalu banyak belajar, serta jarang makan, makanya kerempeng begini pikirnya.

"Kenapa kakimu?" tanya Arga.

"Kena pecahan kaca tadi siang," jawab Erina cepat.

"Ceroboh," kata Arga sebelun menurunkan Erina di depan pintu kamarnya.

"Gara-gara siapa coba, perban Erina basah. Jangan harap Erina mau berterima kasih sama Mas, karena udah digendong." Gadis itu berkata dengan kesal, sebelum membanting pintu kamarnya di depan Arga.

Arga memandang pintu kamar yang tertutup itu dengan kesal, harusnya dia biarkan gadis itu tenggelam. Ia kemudian meraba saku celan piyamanya.

"Brengsek!" umpatnya. Ponselnya basah gara-gara ikut terjun bersamanya di kolam ketika menyelamatkan Erina.

*

Bismillah,
Yeaaay bisa setor, alhamdulillah. Akibat kebanyakan minum kopi, mata saya jadi melek sampai pagi hahaha...

Selamat membaca,
Kanaya Aprilia.

Thank You, Erina! (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang