bagian empatsatu

1.3K 189 12
                                    

bright menelan ludahnya susah payah begitu mendapati halaman depan rumahnya sudah dibanjiri oleh para tetangganya. sebuah garis polisi warna kuning juga terpatri di depan pintu coklat tersebut, makin membuat bright tak mampu menahan tubuhnya sendiri karena lututnya yang mulai melemas.

dadanya terasa sesak ketika ia berhasil menemukan tubuh kecil milik mbak inem yang menangis keras-keras di kursi depan teras rumahnya. bright enggan menghampiri mbak inem, ia terlalu takut untuk menanyai perihal kejadian ini padanya. dia takut dia akan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

bude bukan orang asing bagi bright. bude itu ibunya. bude itu perempuan yang sejauh ini sudah dia anggap ibunya sendiri. jadi mendengar cerita tentang kematian bude membuat hatinya serasa dihimpit oleh dua beban yang berat.

tapi sekeras apa pun bright mencoba membuat kehadirannya tak berarti di sana, mbak inem masih dapat mengenalinya.

wanita paruh baya itu semakin menangis tersedu-sedu begitu berhasil menemukan bright yang berdiri di ujung halaman rumah sendiran.

lelaki dengan seragam sma kusam, juga rambut berantakan itu sangat terlihat rapuh, sendirian, dengan air mata yang tak berhenti mengalir turun ke pipi tambunnya.

dia cuma berdiri mematung di sana, tapi semua orang yang melihatnya dapat dengan jelas melihat kesedihan di matanya.

mbak inem berdiri dari duduknya, berjalan terseok-seok ke arah bright, meskipun semua tenaganya sudah habis karena berteriak dan menangis sedari tadi, ia masih ingin memeluk bright dengan segenap hatinya.

bright yang melihat mbak inem berjalan kesusahan ke arahnya itu langsung cepat-cepat menghapu air matanya, kemudian berlari pada mbak inem dan langsung membawa mbak inem jatuh ke dalam pelukannya.

wanita itu menangis sejadi-jadinya di bahu bright, tangannya bergerak memukul punggung bright pelan.

sambil sesenggukan, wanita itu berusaha mengatakan sesuatu pada bright,

"bunda pukul bude, mas." ujarnya sambil menangis, suaranya serak seolah wanita paruh baya itu sudah berteriak sejak pagi.

tangan bright yang semula mengelus punggung mbak inem, langsung terasa lemas, tatapannya berubah kosong begitu mendengar suara lirih mbak inem di telinganya.

mbak inem kembali menangis dengan suara paraunya, ia memukul-mukulkan kepalanya di bahu bright seolah ingin melupakan sesuatu dari ingatannya.

"bunda udah siksa bude selama hampir dua minggu ini. bude nggak mau mas bright pulang, karena bude takut bunda bakal pukul mas bright lagi kayak waktu itu."

bright tak berkutik, suaranya seolah tercekat di tenggorokan membuatnya tak bisa mengucapkan sepatah katapun membalas cerita wanita paruh baya di hadapannya.

matanya memejam rapat-rapat menahan pusing di kepalanya, seiring dengan badannya yang merosot jatuh ke tanah bersamaan dengan mbak inem yang masih memeluknya.

dia tak mampu menahan isakannya lagi begitu mengingat bude yang melarangnya untuk pulang selama itu.

bright merintih dengan tangisan pilunya, menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga bude sebaik-baiknya, menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu fokus pada kebahagiaannya sendiri.

padahal seharusnya dia sadar.

bahagia sudah hilang sejak orang tuanya bercerai.

"mbak inem udah coba bilang ke bude, kalau baiknya kita telepon mas bri aja, karena bunda emang pengen ketemu si mas. tapi, bude nggak ngijinin mbak inem buat ngadu ke mas. bude nggak mau mas khawatir, karena bude lihat mas udah kelihatan bahagia sekarang. bude nggak mau ganggu kebahagiaan mas bright." lanjut mbak inem lagi, mengelus tinju bright yang sudah mengepal di atas pahanya.

adore you • brightwin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang