Little World and The Family

4.5K 281 30
                                    

You are my first and last.

.

.

.

"No matter what other people may say, we are the protagonists of the world.

But it wasn't like i chose to go to Fukurodani with great ambition in my heart.

I am glad i could be at Fukurodani."

Karena di sana, aku bisa bertemu denganmu.

.

.

.

"Kamu yakin ku tinggal sendiri?"

Pemuda dengan bingkai kaca mata di wajahnya mengangguk mengiyakan.

"K-kamu tidak mencegahku pergi?"

Senyum pemuda itu mengembang, tangan kanannya terangkat dan mengusap pipi sang pemuda berambut kelabu. Cincin perak di kelingkingnya memantulkan cahaya.

"Keiji..."

Si pemuda memelas dan memanggil nama sang kekasih, balas menggenggam tangan yang mengusap wajahnya.

Membuat sepasang cincin perak bergandengan.

"Hanya satu hari kan? Aku tidak apa, akan ada Shirofuku-san yang membantuku."

"Kamu yakin? Bagaimana jika kamu kumat lagi?"

Pemuda dengan surai hitam itu berjengit saat perutnya disentuh dari luar pakaiannya, tubuhnya sangat sensitif...

"Kou... Saat ini karirmu lebih penting, dan jarak Tokyo ke Osaka tidak terlalu—Kou?"

Pemuda dengan surai hitam itu sekali lagi dibuat terkejut, ketika pemuda dengan iris mata emas itu memeluk erat tubuhnya.

Menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher jenjang si rambut hitam, menyesap setiap aroma yang ada.

"Nnh..."

Pemuda dengan rambut hitam itu menahan suaranya ketika pelukan menjadi belaian, diiringi dengan ciuman kecil yang mendarat di kulitnya.

"Ji..."

Iris emas itu menatap tajam iris zamrud di bawahnya.

"Saat ini kau cuti dan jangan melakukan pekerjaan berat, telfon saja kakakku jika kamu perlu sesuatu—?!"

Ciuman singkat yang mendarat di bibir membuat si iris emas terkejut, tak menduga ia akan diserang si iris zamrud.

"Jika kamu tidak berangkat sekarang, kamu akan dimarahi lagi."

Dengan wajah kusut, si iris emas mengangguk.

Sambil menenteng ranselnya, ia sekali lagi menoleh ke arah belakangnya sebelum benar-benar melangkahkan kakinya keluar pintu rumah.

Ya, rumah yang mereka tinggali bersama.

"Aku akan menelfonmu sepanjang perjalanan."

"Tidak, telfon aku setelah kamu sampai di asrama."

Iris emas itu semakin suntuk.

"Kou, ini sudah jam malam dan kamu sendiri yang memintaku untuk tidak bergadang kan?"

Walau saat ini baru pukul 8 malam.

"Kamu sudah meminta izin untuk pergi di jam terakhir, aku takut kamu akan kelelahan dan membuat performa bermainmu kacau..."

Dengan langkah lebar, pemuda dengan iris emas itu kembali mendekat.

"Jangan mengkhawatirkanku, urus saja tubuhmu saat ini. Dan aku minta maaf jika besok aku akan pulang terlambat..."

Pemuda dengan iris zamrud itu tersenyum hangat.

"Tidak apa, aku tidak memaksamu untuk pulang larut. Selama kamu baik-baik saja sudah cukup untukku."

Meski terasa berat, pemuda dengan iris emas itu memantapkan hatinya untuk melangkah pergi.

"Nanti aku kabari ya?"

Sebuah ciuman mendarat di kening si pemuda berambut hitam.

"Aku mencintaimu."

Diiringi ciuman di hidung.

"Selamat ulang tahun, Keiji."

Dan bibir.

Pemuda yang dipanggil Keiji itu tertawa, "Ini masih tanggal 4."

Melihat Akaashi tertawa, Bokuto ikut tersenyum.

"Aku ingin jadi yang pertama mengucapkannya, hehe."

"Kamu selalu menjadi yang pertama."

Bokuto menunduk dan mengelus perut Akaashi, lalu menciumnya. Membuat wajah Akaashi bersemu merah.

"Jangan membuat ibumu mengidam yang aneh-aneh, ya? Jangan merepotkan ibumu saat ayah pergi bekerja."

"Kou, dia masih sangat kecil--"

"Tidak apa, ia pasti mendengarkan aku si ayahnya."

Akaashi hanya diam dengan wajah memerah.

"Aku berangkat dulu ya?"

"Iya, hati-hati di jalan Kou."

Ciuman sekali lagi mendarat di bibir, dan dimulai lagi oleh Akaashi.

Bokuto yang berada diambang pintu kembali berjalan masuk, dan Akaashi mendorongnya keluar.

"Ayolah! Satu ronde saja!"

"Tidak! Kamu harus pergi sekarang atau kamu akan tertinggal kereta!"

"Keiiijiiiiiiiii~" Bokuto merengek.

"Kita sudah melakukannya seharian ini!"

Akaashi hampir terperangkap dalam jebakan itu, pinggangnya yang menjerit menyadarkannya.

"Kei—BLAM!!!"

Dan pintu rumah tertutup.

"Uuuu... Baiklah, tunggulah besok! Aku akan pulang cepat dan menambah bayi di dalam perutmu!"

Bokuto menggembungkan pipinya dan berjalan pergi dengan bibir mengerucut kesal.

Sedangkan di balik pintu, Akaashi yang baru saja mendorong si atlit voli keluar dari rumah mereka masih mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

"Aku—hh harusnya—hhh lebih rajin—hh olahraga—hh..."

Semenjak ia lulus SMA, ia memang jarang berolahraga dan lebih sering duduk di depan laptop.

Iris zamrud itu terpaku dengan cincin perak yang tersemat di jarinya, senyumnya sekali lagi mengembang.

Sampai saat ini, ia masih tidak percaya ia akan bersama seseorang yang ia kagumi tuk pertama kali dalam hidupnya.

Selamanya, hingga maut memisahkan.

We are The Protagonists of The World 🔞Where stories live. Discover now