BAB 1 (Awal Musibah)

5.1K 115 12
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri.  Maaf jika ada nama, tempat, latar dll.

Yang gak tau cara menghargai usaha seseorang dan gak tau tata krama saat bertamu, gak usah baca cerita ini yah.  Makasih 😇

Follow IG: syhnbahy__

.
.
.

POV Wafa Xeanna.

Hari ini adalah jadwalku piket kelas, otomatis aku harus berangkat sekolah lebih pagi dari hari-hari lainnya.

"Pa, cepat nanti wawa telat!" teriakku.

"Sebentar! Papa lagi panasin motor," balas Papa dengan teriakan juga.

Semenjak Mama meninggal lima tahun lalu, aku terpaksa hidup bersama Papa. Hanya berdua, segala keperluan Papa akulah yang mengurusnya.

"Motornya udah dipanasin, sekarang kita berangkat ke sekolah," ucap Papa sambil mengambil tas kerja milik Papa.

Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit aku dan Papa sampai ke sekolah.

"Kamu belajar yang rajin. Papa ke kantor dulu," ucapnya lalu melajukan motornya.

Bukannya kami tidak memiliki mobil, tapi Papa lebih nyaman menaiki motor saat ke kantor untuk menghindari macet di jalan.

"Iya, Pa. Papa hati-hati di jalan. Wawa masuk dulu."

Setelah berpamitan aku langsung masuk ke dalam kelas. Gak mau telat, aku sebagai ketua piket harus bisa memberikan contoh yang baik kepada yang lain.

"Wa, tugas matematika kamu udah selesai? Aku nyontek dong," ucap Sari teman sebangkuku saat aku sedang menyapu.

"Udah selesai, bentar aku ambilin." Dengan langkah lebar aku menuju di mana tasku berada.

"Ada gak? Pinjem dong."

"Bentar aku cari dulu." Aku terus mencari sekitar lima menitan, namun bukunya tak kunjung ketemu. "Bukunya kayaknya ketinggalan deh, soalnya aku lupa naro di dalam tas," ucapku.

"Hah? Masa? Jam matematika 'kan pertama. Kamu yakin ninggalin bukunya di rumah? Kalau bu Yuni tau gimana? Mana bu Yuni killer lagi," keluh Sari. Aku yang ninggalin bukunya, eh malah dia yang panik.

"Ya ga tau. Aku nelfon Papaku dulu."

*via telp on*

"Pa, Papa bisa gak ambilin buku wawa di rumah? Bukunya ketinggalan di rumah."

[Apa? Ketinggalan buku? Papa udah di kantor mana bisa pulang lagi]

"Tapi 'kan Papa bisa izin dulu. Emang Papa mau anak Papa dihukum sama guru?"

[Ya udah Papa ambilin]

*via telp off*

"Gimana?" tanya Sari.

"Papaku mau ngambilin bukunya, tapi emang sempat yah?" tanyaku sangsi.

"Ya doain aja biar sempat," hibur Sari.

Kring! Kring! Kring!

Bel tanda masuk mulai. Bu Yuni yang dikenal dengan ketegasannya juga turut memasuki ruangan kami.

Tidak ada basa-basi yang diucapkan beliau,  Bu Yuni langsung menanyakan tugas kami.

"Yang belum kerja PR matematika silakan maju ke depan. Cepat!" ucap Bu Yuni sambil menghentakkan penggaris ke papan tulis.

Aku, Sari dan beberapa teman yang lain maju. Sari jelas tak mengerjakan tugasnya  terbukti saat tadi dia meminta jawaban padaku. Sedangkan aku, ini adalah pertama kalinya bagiku maju ke hadapan teman-teman sekelas karena tidak mengerjakan tugas.

"Wafa? Kamu juga gak ngerjain tugas kamu?"

"Ee ... kerja kok, Bu. Tapi bukunya ketinggalan di rumah," ucapku membela diri.

"Alasan aja kamu." Beginilah Bu Yuni tak pernah mau menerima alasan apa pun dari kami.

Sudah sepuluh menit kami berdiri di depan kelas. Namun, Papa juga belum datang membawakan tugas sekolahku.

"Wa, coba deh kamu liat cowok itu. Ganteng banget deh," ucap Sari sambil melirik ke luar kelas.

"Cowok? Mana? Mana?"

"Itu yang pake kemeja biru tua. Kayaknya guru baru deh," ucapnya lagi.

Apa? Kemeja biru tua? Itukan pakaian yang dipakai Papa saat berangkat ke kantor.

"Mana? Gak keliatan dari sini," tanyaku lagi.

"Itu mah nasib kamu. Ya Allah, ganteng banget," puji Sari lagi. Entah siapa yang berada di luar. Tapi aku berdoa kalau itu adalah Papa.

"Kalian berdua kenapa? Ada apa di luar?" tegur Bu Yuni.

"Ga—gak ngapa-ngapain kok, Bu," ucapku. Sadis juga kalau bayangin dihukum sama Bu Yuni lagi.

"Assalamualaikum, selamat pagi," ucap seseorang dengan suara berat.

"Wa'alaikum salam. Ya, ada apa?" cukup lama aku melihat Bu Yuni melakukan kontak mata dengan orang yang baru saja datang.

Eh, tunggu dulu. Itu 'kan Papa.

"Eh, maaf Bu, ganggu. Saya mau ketemu sama Wafa anak saya. Buku tugasnya ketinggalan, dan ini saya mau memberikannya kepada Wafa," ucap Papa.

Ah, akhirnya aku selamat juga dari hukuman Bu Yuni. Maaf Sari, kayaknya kamu bakalan lebih lama deh dihukumnya.

"Oh mau ketemu Wafa toh. Wafa sini, Nak. Kenapa kamu gak bilang kalau buku kamu ketinggalan? 'Kan ibu bisa kasih keringanan sama kamu," ucap Bu Yuni dengan nada yang sengaja di lemah lembutkan.

Apa tadi dia bilang? Aku gak ngasih tau dia? Dia yang gak mau nerima alasan apa pun, kok jadi aku yang salah.

"Wafa ini anak rajin, makanya saya sangsi waktu dia maju kedepan karena gak ngerjain tugas dari saya," ucap Bu Yuni lagi. Aku yakin sekarang beliau sedang mencari perhatian dari Papa.

"Oh gitu yah? Ini Wa, bukunya belajar yang rajin. Papa mau ke kantor dulu," ucap Papa lalu memberikan bukunya padaku. "Papa jalan dulu."

Setelah kepergian Papa barulah aku dipersilakan duduk. Aku juga sempat melihat raut wajah ketakutan dari Sari. Mungkin ini adalah pertama kalinya Sari dihukum tanpa aku.

****

Halo, semuanya.
Makasih udah mau baca cerita aku, makasih udah mau menghargai usaha aku dengan meninggalkan jejak, baik berupa votment, follow, share dan lainnya. 

Semoga tetap tinggal di cerita ini yah. 

Love you all ....

Ikuti saya di IG @syhnbahy__

PEMBACA GELAP MINGGAT!

TANPA PROMOSI!

TIDAK ADA PLAGIAT!

My Papa is Duda Keren (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now