VI

39 9 0
                                    

Cahaya membanjiri mataku, memperjelas nuansa kelabu yang terlihat dari segala sisi.

Segala sesuatu berwarna sama. Kelam dan dingin. Warna lain yang tersisa berasal dari diriku. Rambutku masih hitam gelap. Jaket yang kukenakan masih jaket biru tua milik Bryan yang kupinjam tadi pagi. Celana kain hijau tuaku dan sepatu merah mudaku pun tidak terpengaruh kesuraman di sekitar.

Mulanya aku pikir benturan tadi membuat penglihatanku bermasalah sehingga sulit mengenal warna, tetapi tidak. Dunia ini memang berwarna demikian. Seharusnya di dekatku ada Bryan dan mobil yang kami pinjam dari organisasi; berada dalam keadaan hancur akibat tertabrak. Anehnya dua hal tersebut tidak terlihat.

Aku mencoba memeriksa ke arah Driya jatuh sambil berusaha bangun. Setiap syarafku pasti menjerit jika mereka punya mulut. Terasa tarikan yang menyakitkan dimana-mana akibat benturan kasar tadi, membuatku perlu berhenti sejenak setiap kali hendak menggerakkan tubuh.

Sesuai dugaan, Driya tidak terlihat. Tidak seorang pun terlihat. Suara yang memenuhi telinga hanyalah desau angin yang kesepian. Pepohonan di sekitar kering kerontang, kehilangan rona hijau kejinggaannya.

Aku mulai berhasil mempertahankan keseimbangan dan berdiri lebih tegak. Terlihat di sisi kananku jaket serta celana agak robek akibat gesekan dengan aspal. Aku mengusap bagian tersebut perlahan, sebab disanalah efek dari benturan paling terasa.

Ada sesuatu di tempat ini yang seolah membungkamku, bahkan untuk bernapas pun aku berusaha berhati-hati, tidak ingin menimbulkan suara. Kuedarkan pandangan ke sekitar sambil berjalan kembali ke arah kota, yang jaraknya masih cukup jauh.

Selain langkah kakiku, suara lain mulai terdengar, seakan seseorang melangkah keras-keras di atas tanah berselimutkan daun kering. Bunyi patahan ranting yang sahut menyahut menandakan si pemilik langkah tidak berniat mengendap ke arahku.

Aku melihat makhluk itu, berjalan mendekat dari kejauhan, setengah ditutupi kabut. Ukurannya barangkali sebesar mobil biasa, bergerak merangkak dengan kakinya yang bak laba-laba, tetapi hanya berjumlah dua pasang. Kulitnya putih, tanpa ada celah untuk warna lain.

Untuk jarak sejauh ini, baru itu detail yang kutangkap dan aku tidak tertarik mengetahui lebih banyak. Aku menanti energiku mengalir ke sekujur tubuh, menunggu gelenyar menggelikan dari listrik di sepanjang tangan yang selalu memberi rasa aman. Namun sementara makhluk itu semakin dekat, tidak terasa apapun.

Kucoba untuk memejamkan mata, kembali ke masa-masa awal ketika baru masuk ke dalam organisasi Hunter. Waktu itu aku masih butuh usaha keras untuk berkonsentrasi dan mengalirkan energi ke seluruh tubuh. Tapi sekarang ini, sekuat apapun aku berusaha, bahkan hingga dahiku mengerut akibat memejamkan mata terlalu erat, tidak terasa apapun selain kekosongan.

Aku membuka mata dan makhluk itu sudah lebih jelas dari sebelumnya. Sepasang kaki depannya berukuran lebih besar dan bercapit. Kaki belakangnya berujung runcing. Aku bisa lebih jelas goresan-goresan hitam nan panjang di sekujur tubuh dan wajahnya yang tak bermata. Makhluk itu mulai memamerkan gigi runcing dan lidah panjangnya yang terlihat bergerak seakan memiliki nyawa tersendiri, sementara aku belum bisa mengeluarkan listrik selemah apapun.

Makhluk itu mengeluarkan jeritan melengking ketika berjarak beberapa meter lagi dariku. Dia menambah laju geraknya. Aku melupakan segala rasa sakit dan otakku hanya memberi perintah untuk lari.

Teriakannya kembali terdengar dan dari suaranya, aku tahu langkah makhluk itu bertambah lebih cepat. Rasa sakit mendadak kembali mendera, membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Ingin rasanya aku berhenti dan menengok ke belakang, tetapi dari suaranya saja, aku bisa mendengar makhluk itu akan berhasil menyusul jika aku lengah sedikit saja.

Teriakanku sudah tertahan di ujung lidah, namun tak berani kukeluarkan. Satu-satunya suara dariku adalah suara napas terengah. Sambil berlari aku mencoba lagi meraih energi apapun yang barangkali tersisa, berharap bisa meledakkan makhluk di belakangku. Tetapi aku sama saja seperti meraih udara. Kekuatan itu hilang begitu saja.

Dari belakang, sesuatu yang basah menampar pergelangan kakiku, membuatku langsung menghantam jalan. Aku cepat-cepat membalikkan badan sewaktu makhluk itu menghantamkan kedua kaki depannya ke tempatku jatuh tadi. Lidahnya bergerak-gerak di antara deretan gigi taring, seperti ular menanti mangsanya lengah.

Makhluk itu menyerang lagi, menghantamkan kaki secara bertubi-tubi, memaksaku berputar menjauh. Baru saja aku menemukan pijakan, makhluk itu melompat, memaksaku menunduk dan berguling menjauh lagi. Begitu menemukan secercah kesempatan, aku mendorong tubuh hingga bangkit dan kembali berlari, mengabaikan sakit yang semakin mendera sekujur tubuh.

Makhluk itu menyusulku tanpa kesulitan, dengan kedua capit, dia mengangkat bagian belakang jaket, membuatku setengah tercekik. Mulutnya ternganga lebar, memperlihatkan kerongkongan gelap seakan tak berdasar.

Sejak menjadi Homirium, aku selalu merasa lebih aman, lebih percaya diri, sebab aku tahu tak ada yang berani menyentuhkan seujung kukupun padaku dengan maksud buruk. Aku bisa melindungi diriku dan semua orang. Namun sekarang, di tengah ketidakberdayaan, semua keberanian itu sirna, dan yang bisa kulakukan hanyalah berteriak keras sebelum tubuhku kembali dilempar lalu menghantam salah satu batang pohon.

The Other Side of FallwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang