Arya dan Pacar Barunya

3K 195 0
                                    

Abia melangkah pelan di koridor kelas sebelas. Melirik ke sana kemari, yang bisa dilakukan gadis itu tentu saja hanya tersenyum getir.

Sekolah ... kenapa semakin hari terasa jadi seasing ini, ya? Bisa dibilang Abia sudah tidak berinteraksi dengan siapapun lagi selama beberapa hari belakangan di sekolah. Semua seolah menjaga jarak darinya.

Mengabaikan tatapan-tatapan merendahkan di sepanjang jalan menuju kelas, Abia memilih mempercepat langkah. Hampir seminggu tinggal di kontrakan sederhananya membuat Abia mulai terbiasa hidup sendiri.

Gadis itu juga mendapatkan pekerjaan di kafe dekat sekolah guna memenuhi biaya hidupnya. Meski gaji yang didapatinya pas-pasan, Abia tetap merasa bersyukur karena setidaknya bisa ia gunakan untuk makan.

Urusan pengobatannya, Tante Cintya dari dulu sudah menjaminnya meski gadis itu tidak mau. Sebenarnya, Abia juga sedikit khawatir dengan kondisinya belakangan ini.

Tubuhnya jadi lebih sering terserang sakit, ia juga jadi lebih mudah lelah serta tanpa sadar sesekali hampir kehilangan kesadaran. Kalau penyakitnya semakin parah bagaimana? Abia harus melakukan apa?

"Vi, jangan gitu lah. Kasih gue pinjem sebentaaar aja deh."

"Dih kok maksa?"

"Bukan maksa woi, si Raina mau minjem doang juga. Kasih aja lah, ribet amat lo, Vi."

Abia mengentikan langkah di ambang pintu kelas begitu menemukan hanya ada Violyn, Raina, Alea dan Rindi di sana. Dengan canggung, Abia kembali melangkah masuk berikutnya duduk di bangkunya.

Menenggelamkan kepala di balik lipatan tangan, keempat gadis lain di sana tidak sadar Abia tidak terlelap; tapi malah mendengarkan dalam diam setiap percakapan asik mereka.

Menyadari seberapa seru para sahabatnya meski tanpa adanya dia, Abia tersenyum getir. Memang dari dulu, Abia tidak pernah cukup penting di mata siapa saja.

'Bahkan saat kita di satu kelas yang sama, kalian nggak ada niatan buat nyapa sedikit pun, ya.'

Menyeka air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir di daratan pipinya, Abia mendengus sebal. Cengeng sekali dia!

"Yaudahlah, kalau tanpa aku kalian bisa sseseru itu, ya enggak papa." Abia bergumam lirih berikutnya benar-benar terlelap karena bosan serta lumayan mengantuk. Semalam ia begadang karena mendapat shift malam.

Mau setidak terima apapun, Abia tetap harus dipaksa menerima segalanya. Abia harus menerima bahwa sekarang ... dia tidak pernah mampu diterima siapapun.

****

Sepulang sekolah, Abia langsung menuju ke kafe tempatnya bekerja. Gadis itu menelusuri trotoar dengan bersenandung kecil. Semenjak tinggal sendiri, dia memang sudah terbiasa berjalan kaki.

Entah untuk pergi sekolah, ke tempat kerja atau kemana saja selagi tidak diburu waktu dan tidak terlalu jauh. Pikirnya, dia harus cukup pandai menghemat agar segala keperluan lain dapat terpenuhi.

Abia harus terus ingat bahwa sekarang dia tidak bisa bergantung pada siapapun. Jika malas, dia yang bakal kesusahan. Jika boros, maka dia juga yang bakal kelaparan.

Di perjalanan, karena tidak memiliki teman mengobrol, Abia sebisa mungkin menghalau segala ingatan yang seharusnya tidak perlu ia ingat. Entah ingatan tentang Arya yang dulu pernah mengajaknya jalan kaki hingga taman komplek, atau Kaisar yang semasa masih duduk di bangku SMP yang dulu pernah menggendongnya ketika pulang sekolah sembari berlarian di trotoar jalan. Abia ingat sekali kala itu Kaisar rela membolos sekolah hanya demi pulang bersama dengan Abia meski harus jalan kaki. Setelah itu, Abia dihukum Ayah karena membuat Abangnya membolos meski bukan Abia yang menyuruhnya melakukan itu.

ABIA  [TAMAT]Where stories live. Discover now