Dua Hati

1.7K 144 1
                                    

Sudah sebulan Kak Luna meninggalkan kami dan sudah sebulan pula aku mengurusi Yuno. Pipi Yuno sudah terlihat gembil sekarang karena dia lahap meminum susu formulanya.

Aku akan memberitahu kalian kabar terbaru. Entah ini kabar buruk atau kabar baik. Minggu depan aku akan menikah dengan Jefri.

Apakah kalian masih mengingat pertengkaranku dengannya melalui pesan bulan lalu? Keesokan paginya ketika dia melihatku datang ke kamarnya untuk memandikan Yuno, Jefri menarikku ke arah balkon.

"Apa yang ingin kau katakan lagi? Lima menit atau tidak sama sekali."

Waktu itu dia mengucapkannya tanpa ragu, tidak berniat menatapku. Lihat, sebegitu muaknya dia terhadapku.

Aku memberitahu apa yang menjadi kegundahan hatiku padanya saat itu. Tentang diriku yang berkhianat jika aku menikah dengannya.

"Haruskah kita membatalkannya? Aku tidak bisa menghianati Kak Luna."

"Katakan apa yang membuatmu berubah pikiran? Apa si Canada itu?"

"Namanya Mark."

"Lantas, apa yang membuatmu ingin membatalkannya? Kamu pikir kamu bisa mempermainkanku?"

"Aku hanya tidak bisa menghianati Kak Luna, Jef!"

"Kau lupa? Kakakmu Aluna itu sudah mati, Alana."

Kalimat itu teramat kejam. Bisa-bisanya dirinya berkata seperti itu tentang mendiang istrinya sendiri. Tentu saja aku sangat marah mendengar kalimat itu terlontar dari bibirnya.

"Kamu? Tega sekali kamu berkata seperti itu. Dia istrimu, Jefri! Apa kamu tidak mencintainya dan tidak merasa bersalah? Dia baru saja meninggalkanmu sebulan yang lalu."

Jefri tersenyum menyeringai seolah ucapanku itu hanya sebuah angin lalu. "Kamu sudah tahu jawabannya lalu mengapa bertanya lagi kepadaku?!"

"Sudah lebih dari lima menit. Keputusanku kita akan tetap menikah bulan depan."

"Apa kamu menginginkan keluarga kita menjadi bahan gunjingan orang-orang, Jef?!"

Mendengar ucapanku, dia menghentikan langkahnya lalu kembali menghampiriku. Rahangnya sudah mengeras terlihat sekali bahwa dia sedang marah dan kesal.

Pria yang baru saja menjadi ayah itu pun menghimpit tubuhku membuatku beringsut mundur hingga aku tidak bisa bergerak lagi karena tidak ada celah sama sekali untuk aku kabur darinya. Detik berikutnya Jefri tersenyum tipis.

"Kenapa kamu selalu memikirkan orang lain? Tidak bisakah kamu berpikir egois untuk sekali saja di hidupmu? Terbuat dari apa hatimu? Kamu memikirkan orang lain tapi bagaimana dengan keponakanmu? Kalau kamu tidak mau mengurusnya katakan saja. Aku masih sanggup untuk membayar baby sitter!"

"Bukan. Bukan itu maksudku Jefri. Kamu salah mengartikankannya."

"Terserah!"

Itu adalah satu kata terakhir yang darinya karena setelah perdebatan pagi itu aku dan dia tidak bertemu kembali. Entah ke mana perginya Jefri. Aku pun tidak ingin mengurusinya.

Mencoba melupakan apa yang terjadi tempo hari, aku memilih untuk kembali fokus kepada bocah menggemaskan ini. "Halo sayang? Kamu haus ya? Tunggu ya, Aunty melihat popokmu dulu." Aku menepuk pelan punggung Yuno yang menangis entah karena dia haus atau dia sudah tak nyaman menggunakan popoknya.

Suara derit pintu yang terbuka mengalihkan atensiku. Dapat kulihat ayah dari Yuno memasuki kamar ini dengan wajah yang lesu.

"Masih ingat jalan pulang?" sindirku tanpa peduli protesannya nanti.

Brother In Law | Jung Jaehyun ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang