Sebuah Rutinitas Membawa Perkara

1.9K 299 13
                                    

"Mas, minta uangnya dong. Laper. Hehe," gue memutar bola mata malas.

"Lo kan udah dikasih uang sama papa tadi," jawab gue. Ya gimana? Saku gue sama si adek aja bisa gue pastikan 100% kalau lebih banyakan punya dia.

"Ketinggalan, mas." Ujarnya dengan nada yang dibuat sok sedih. Gue tau kalau ini cuma akal-akalan dia supaya uangnya bisa utuh yang entah bakal dia buat apaan. Tapi sebagai kakak yang baik, gue mendengus kesal sembari memberikan setengah uang saku gue buat si adek.

"Kok cuma segini, mas?" Protesnya.

"Lah. Itu mau buat beli makan 3 ronde masih sisa kali dek," jawab gue. Si adek menghentakkan sebelah kakinya kesal.

"Kan nanti buat ongkos pulang juga. Lagian hari ini mau ke taman kota buat hunting jajan sama temen-temen, mas."

Gue mendengus kesal. Bisa-bisa abis kesabaran gue menghadapi tingkah si adek ini.

"Dek, kalau mau tambah ya pulang dulu. Minta ke papa. Itu mas jaem udah kasih setengah uangnya mas jaem loh," ujar gue selembut mungkin memberi pengertian.

"Kan mau langsung abis pulang sekolah, mas. Tolong dong, mas. Hari ini doang, ya?"

Gue memejamkan kedua mata sembari menghela nafas dalam-dalam guna mereda kemarahan. Akhirnya, gue ikhlasin semua uang saku gue buat si adek. Walau gue tau itu cuma akal-akalan. Bisa-bisa gue dimakan papa kalau gak ngasih ke dia.

"Makasih, mas. Sayang mas jaem banyak-banyak pokoknya. Jangan bilang papa mama, ya? Hehe,"

Well, adek. Lo gatau aja kalaupun gue ngadu ke papa atau mama, pasti yang dibelain adalah lo. Karena bagi papa dan mama, kodratnya seorang kakak adalah mengalah buat adeknya.

.

"Selamat siang, kakek dan nenek." Gue menyapa dengan semangat pada kakek dan nenek Park, pemilik kedai ramen tempat gue kerja.

"Selamat siang, nak. Sudah makan siang?" Jawab nenek sembari mengelus rambut gue. Gue bisa liat kakek juga tersenyum lembut ke arah gue di tengah pekerjaannya yang lagi rebus mie.

"Sudah, nek." Jawab gue sambil tersenyum lebar. Maaf nek, karena sudah berbohong. Lagian mau makan gimana kalau uang gue aja kena palak si bontot. Untunglah gue udah biasa gak makan. Jadi gue biasa aja walau gak makan seharian.

Gue mulai berganti baju di kamar mandi kedai. Memandang wajah tampan gue di cermin sebentar.

'Lo emang ganteng banget, Jaemin. Baik hati pula. Hehehe,'

Monolog gue dalam hati yang selalu berhasil menghibur diri gue sendiri. Setelahnya, gue mulai melakukan pekerjaan gue sebagai pelayan.
.

Jam udah menunjukkan pukul 10. Gatau kenapa hari ini emang kedai lagi rame-ramenya. Gue aja sempat kewalahan meski kakek udah turun tangan untuk ikut membantu melayani pelanggan. Bahkan sampai sekarang yang harusnya kedai udah tutup, masih ada dua sampai tiga pelanggan yang baru masuk.

"Lah, Jaemin." Gue agak tersentak kala suara itu memanggil nama gue. Suara yang amat sangat gue hapal di luar kepala. Gue memaksakan diri buat menoleh sambil tersenyum lebar.

"Silahkan, ingin pesan apa?" Tanya gue sebagaimana mestinya. Orang itu bergerak canggung untuk membuka-buka daftar menu dan mulai menyebutkan pesanannya.

Selesai melayani pesanannya, gue buru-buru ganti baju dan berpamitan pada kakek dan nenek.

"Ayo makan dulu, nak. Kamu pasti sangat kelelahan," ujar nenek sembari memegang lengan gue yang langsung diangguki oleh kakek. Gue tersenyum lembut kearah keduanya.

Jung Familly: Middle ChildWhere stories live. Discover now