Lembar Keluarga

1.7K 289 15
                                    

Dua hari yang selalu membuat mood gue anjlok, akhirnya udah berlalu. Semua udah berjalan dengan normal seperti biasa.

"Mas, kamu liat dompet papa, gak?" Tanya papa tiba-tiba saat gue lagi enak-enaknya nonton tv.

Oiya. Sekedar informasi, hari ini gue gak kerja. Kakek dan nenek ada tes kesehatan yang menyebabkan mereka memutuskan untuk menutup kedai selama sehari. Gue mah seneng-seneng aja karena bisa mengistirahatkan badan yang bener-bener kayaknya lagi kecapekan. Dan tiba-tiba, pertanyaan papa barusan berhasil membuat mood yang udah susah payah gue tata kembali anjlok lagi.

Ketika ada banyak orang dirumah, kenapa selalu gue yang ditanyain pas ada barang yang kemungkinan hilang? Membuat gue mulai membuat berbagai macam asumsi yang salah satunya, apa mereka berpikir kalau yang menghilangkan atau mengambil barang-barang itu adalah gue? Lagian buat apa juga gue ngambil?

Mungkin buat kalian yang gak ngerti rasanya bakal menganggap bahwa ini hal sepele yang terlalu gue besar-besarin. Iya, terserah kalian mau pikir kayak gimana.

"Enggak." Jawab gue dengan nada cuek.

"Bener?" Tanya papa lagi dengan nada yang gak percaya. Kalau kayak gini, gimana bisa gue mengusir asumsi buruk gue?

"Iya. Lagian aku daritadi disini gak ngapa-ngapain," jawab gue mencoba menahan amarah.

Setelah papa berlalu, gue mematikan tv dan beranjak keluar rumah.

"Kenape lagi?"

"Siapin makanan yang banyak. Gue ke rumah lo,"
.

Haechan, temen gue itu udah misuh-misuh pas tiba-tiba gue main masuk ke kamarnya.

"Dasar, gak ada sopan-sopannya masuk kamar orang." Ujarnya dengan nada sewot yang benar-benar ketara.

"Lah, lo orang? Gue kira dedemit," jawab gue santai. Selanjutnya, gue langsung saja merebahkan diri di kasur kesayangannya. Membuat si empu kasur cuma bisa menghela napas pasrah sama kelakuan gue.

"Keluar, kuy." Ajak Haechan. Gue langsung membuka mata dan menatapnya dengan heran.

"Katanya mau makan, nyet." Lanjutnya. Gue langsung bangun dan memberi anggukan setuju pada Haechan.

Lama kita muter-muter Seoul menggunakan bus atau kadang diselingi dengan jalan kaki. Sampe ada saat dimana saldo ongkos bus gue habis dan membuat Haechan mau gak mau harus bayarin ongkos gue. Walaupun Haechan sempat mengumpat kecil dan ngolok-ngolok gue, gue tau di dalam lubuk hati terdalamnya dia ikhlas lahir batin bayarin ongkos bus gue. Sebab gue percaya bahwa Haechan adalah teman yang baik.

"Capek, njing. Daritadi mau makan aja ribet bener," keluhnya. Sebenernya gue sendiri juga capek. Bayangkan, kita udah 4 kali naik turun bus, belum lagi jalan kaki yang lumayan lama di tiap-tiap turun dari bus cuma buat nyari makan yang cocok buat kita. Kita berangkat jam setengah dua siang dan ini udah jam enam lewat lima belas menit sore.

"Lo yang ribet, ya? Gue ngikut aja." Jawab gue yang memang seperti itulah kenyataannya. Haechan mendengus kecil.

"Udahlah. Hunting jajanan di taman kota aja, ayo!" Ajaknya yang hanya gue balas dengan anggukan. Walaupun capek dan cuma berakhir makan tteobokki di pinggir jalan deket taman kota, hari ini cukup menyenangkan. Seenggaknya, gue gak perlu mumet karena dirumah seharian.

.

"Halo, ma?" Mama menelpon ditengah-tengah santai gue yang lagi guling-guling di kasur Haechan sambil nyemil keripik kentang. Kita lagi nontonin naruto the movie. Hehe.

"Kamu dimana? Pulang dulu, makan."

Tumben. Biasanya gak pernah nelponin buat ngingetin makan. Emang sih, sejak kejadian dua hari lalu, mama sering sms atau nelpon supaya gue pulang dan makan. Mungkin, mama masih merasa bersalah. Tapi gue sih yakin dua hari lagi pasti udah lupa seperti biasanya.

Jung Familly: Middle ChildWhere stories live. Discover now