Teman Tak Terduga

2K 292 15
                                    

"M-m-ma-maaf, mas," ujar Jisung penuh ketakutan. Gue menghela napas, mensabarkan diri. Sampai,

'BUGH!'

Baru aja mulut gue mau terbuka buat nanya langsung ke dia. Tapi niat gue digagalkan sama Hyunjin yang memutar tubuh gue paksa dan langsung melayangkan tinjuannya begitu saja.

Tinjuannya gak main-main. Bahkan gue langsung bisa ngerasain bibir gue asin. Jelas ada luka bonyok disudut sana dan 100% mengandung darah. Asal kalian tau, ini sakitnya gak main-main. Dan adek gue mendapat ini jauh lebih banyak dari gue. Awas aja lo, Hyunjin.

Gue terkekeh kecil sembari mengusap kasar darah di sudut bibir gue. Membuat Hyunjin mungkin terprovokasi dan langsung narik kerah seragam gue supaya gue berdiri. Dia menatap gue nyalang seakan-akan memang berniat menakut-nakuti gue yang justru tertawa remeh.

"Denger, brengsek! Gara-gara ulah adek goblok lo! Adek gue sekarang jadi gabisa ikut turnamen, ANJIR! GARA-GARA ADEK LO!! BANGSAT!!"

Gue cuma mengernyit bingung. Sebenarnya apa yang udah dilakuin Jisung. Entah reflek gue macet atau gimana, tapi gue cuma diam aja waktu dia memukuli gue dengan membabi buta. Sampai Haechan harus turun tangan buat ngelindungi gue. Dan kesempatan itu gue gunain untuk mendekati Jisung dengan susah payah. Sebab badan gue rasanya remuk semua.

"Kenapa? Tolong jelasin ke mas." Tanya gue dengan nada menuntut.

"A-aku gak sengaja, mas. Aku nyenggol Jeongin waktu latihan. T-terus dia jatuh. Katanya kakinya cidera gara-gara itu,"

Gue memejamkan mata sejenak sembari membuang napas untuk yang kesekian kalinya. Gue ngerti sama amarah Hyunjin. Tapi bukan gini caranya. Toh Jisung juga gak sengaja.

"Sejak kapan?" Tanya gue lirih.

"3 hari lalu,"

Walau gue mendengar jelas jawaban Jisung, atensi gue justru beralih pada Haechan yang tengah merintih. Sebab Hyunjin membanting keras tubuh sahabat gue itu ke lantai. Kali ini amarah gue udah gak bisa gue tahan. Dan begitulah. Akhirnya gue terlibat perkelahian sama budak jamet di depan gue.

.

"Adek saya gak salah, pak. Dia korban disini."

"Kamu jangan membela adik kamu, Jaemin. Disini kalian semua salah."

Bodoh Jaemin! Bisa-bisanya gue malah terkekeh gak percaya sama situasi ini. Harusnya gue diam dan menerima hukuman saja. Bukannya malah makin memprovokasi kayak gini. Sebab gue ini bukan anak bandel. Hari ini kenapa otak gue ngajak bandel mulu??

"Bapak bisa tanya semua orang. Bisa lihat cctv juga. Adek saya korban bully. Dia yang bully dan saya dengan Haechan membela adek saya." Balas gue dengan nada yang dingin. Kayaknya gue udah gila. Minta ditampar papa nih sampai rumah.

"Saya mengakui, pak. Saya membully Jisung sebab dia sudah mencelakai adik saya-

-gak sengaja, anjir!"

"JUNG JAEMIN!! Tolong kondisikan mulut kamu di depan saya!"

Gue kaget. Gue yang menyela perkataan Hyunjin adalah suatu reflek yang gak gue sadari. Dan tiba-tiba nama gue diteriaki oleh pak bk, gue tentulah kaget. Namun karena udah kepalang, jadi biarin aja. Biar sekalian ditempeleng papa nyampe rumah nanti. Biar otak gue kembali pada tempatnya aslias waras.

"Jaemin datang bantu adiknya. Saya dan Jaemin murni berkelahi. Sedang Haechan ada karena melindungi Jaemin yang sudah kacau. Jadi kalau bapak ingin menghukum, hukum saya saja dan Jaemin. Sebab kami berdualah yang murni berkelahi,"

Gue gak tau kenapa tiba-tiba dia mengakuinya. Tapi, gue rasa dia lagi merencanakan sesuatu dibalik pengakuannya yang tentu bisa merugikan dia sendiri. Dan gue yakin banget kalau gue sempet lihat senyum remeh dia diakhir ucapannya.

Pak bk memejamkan mata sejenak terus menghela napas. Kelihatannya capek banget menghadapi kelakuan anak muridnya hari ini.

"Baiklah. Haechan silahkan antar Jisung pulang. Kalian harus istirahat. Kamu dan Jaemin, sebaiknya kalian minta orangtua kalian datang besok pagi. Selagi menunggu saya membuat surat panggilan, kalian silahkan bersihkan lapangan indoor."

Rasanya, gue pengen banget ketawa ngakak keras-keras sampai seluruh penjuru dunia tau kalau seorang Jung Jaemin lagi bengek saat itu juga. Gue udah bisa menebak kekacauan apa yang bakal terjadi sesudah gue pulang. Tapi entah kenapa rasanya sungguh menyenangkan. Kayaknya otak gue emang udah konslet.

Tadi, saat gue melihat Hyunjin mukulin Jisung, gue marah banget sampai rasanya pengen jedotin kepala dia ke tembok biar mati sekalian. Namun, setelah apa yang terjadi, gue justru seneng. Gue justru pengen berterima kasih sama dia. Hahahaha, kayaknya otak gue beneran perlu di servis.

Gue dan Hyunjin berjalan beriringan menuju lapangan indoor yang lumayan jauh dari ruang bk. Dan perjalanan kami benar-benar ditemani sunyi sebab kami berdua sama-sama lagi sibuk sama pikiran masing-masing.

Gue dan Hyunjin mulai mengambili bola-bola yang berserakan dan memasukkannya ke wadah. Kemudian kami sama-sama mengepel lantainya dan kemudian tiduran gara-gara kecapekan. Hingga suara tawa Hyunjin akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi kami ciptakan.

Gue menoleh dengan tatapan heran ke arah Hyunjin yang tiba-tiba ketawa ngakak tanpa aba-aba.

"Lo tau kenapa gue ngaku?" Tanyanya tiba-tiba sembari menatap gue. Tak lupa senyum senangnya yang sama sekali belum luntur seakan menjadi tanda bahwa kami ini teman dekat. Padahal mah kenal aja kagak. Gue cuma mengangkat sebelah alis sebagai pertanyaan 'apa?'

"Sebab gue tau gimana hubungan lo sama keluarga lo, terutama bokap lo," lanjutnya. Maaf, tapi hubungannya dimana?? Dia memalingkan wajah, menatap langit-langit lapangan dengan mempertahankan senyum yang merekah.

"Jadi bandel itu sesuatu yang membahagiakan buat anak-anak kayak kita,"

Gue menoleh, mulai tertarik sama arah pembicaraan dia.

"Gue anak tengah dari tiga bersaudara. Abang gue udah kuliah, semester akhir jurusan teknik informatika. Hebat, kan?"

Ah, ternyata gue pun Hyunjin rupanya sama aja. Gue lihat dia menghela napas sejenak.

"Mama meninggal waktu ngelahirin adek. Papa gue jadi ambis banget sampe nekan semua anaknya untuk berprestasi. Kalau gak, papa mukulin kita. Abang bilang ke gue buat jaga adek. Ajak adek seneng-seneng. Biar abang aja yang muasin nafsu papa.

Awalnya tentu gue ogah. Karena bagaimanapun; semenjak mama pergi, abang adalah segalanya bagi gue. Gue ngide kabur aja. Tapi abang bilang kasihan papa. Papa gitu sebab papa kesepian. Makanya abang ikhlas kalaupun harus memenuhi cita-cita papa. Sebab itu kodratnya seorang anak. Apalagi abang anak sulung.

Akhirnya lama-lama gue setuju. Gue dan adek memilih jalan kami sendiri. Gue jagain adek. Setiap kali papa mau mukul adek, gue selalu ngehalangin. Sebab itu janji gue sama abang. Apalagi sekarang abang dikirim kuliah ke luar kota sama papa. Jadi abang cuma bisa nitip sama gue. Gue sih fine-fine aja. Sebab baik gue maupun abang, kita berdua saling melindungi dengan cara yang berbeda."

Dia menoleh ke gue setelah menyelesaikan cerita panjangnya.

"Thanks," ujar gue singkat. Hyunjin malah terkekeh ringan.

"Lo gak seburuk itu ditengah-tengah keluarga lo, Jaemin. Lo berhak memilih jalan lo sendiri. Apalagi dengan kondisi hubungan lo dan keluarga lo yang gak sebaik saudara lo yang lain. Good luck. Gue gak nyesel karena udah nyeret lo kesini,"

Gue tersenyum kecil mendengar rangkaian kalimatnya. Iya, ini dunia gue. Hidup gue yang harus gue perjuangin sendiri. Mama punya abang yang jadi sumber bahagianya, pun papa yang punya adek. Dan gue, gue punya diri gue sendiri. Maka gue harus berjuang mencari bahagia gue sendiri.



Hai semuaaa. Maaf, ya? Aku gak memenuhi perkataanku. Setelah kupikir-pikir, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan buku ini.  Dan mudah-mudahan bulan puasa nanti aku bisa konsisten buat publish cerita baru yang castnya jaemin juga. Udah kutulis sebagian kok. Heheh.

Buat yang udah nunggu, kuucapkan makasih banyaak. Dan sekali lagi mohon maaf buat pengumumanku sebelumnya.

Jangan lupa bersyukur dan semoga sehat selalu. Kalian hebat. Kalian udah bekerja keras hari ini. Heheh💚💚

Jung Familly: Middle ChildWhere stories live. Discover now