Keesokan harinya tepat ketika matahari belum sepenuhnya berada di puncak tertinggi, Garnayse sudah membuka kedua mata nya bahkan mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi ketika Gerald membawanya kepada Jupiter. Gadis itu menunggu di bilik peristirahatannya. Dia berpikir apakah dirinya akan diusir? Tidak ada yang tahu keputusan seperti apa yang akan Jupiter ambil demi kepentingan bersama seperti yang disebutkan oleh Gerald semalam.
Garnayse resah.
Di sisi lain ia memikirkan keadaan Brandon, kemudian di satu sisi yang lainnya gadis itu mengenang sosok Jamie. Dia bahkan tidak sempat memeluk Jamie yang masih 'bernafas' untuk terakhir kalinya. Dia bahkan tidak mau mendengarkan ucapan Jamie pada malam terakhir sebelum Jamie benar-benar meninggalkannya untuk selamanya. Dia bahkan tidak menguburkan Jamie...
Kedua mata Garnayse terasa panas dan tak disadari air mata mengalir begitu saja. Bibirnya bergetar dan dia menyebut kata maaf berulang kali di dalam hatinya hanya untuk Jamie. Dia ingin meminta maaf atas keegoisannya dan ingin memperbaiki hubungan yang selama ini tak berjalan bagus dengan Jamie. Garnayse ingin mendapatkan waktu yang tak pernah berpihak kepadanya dan Jamie. Hidup Garnayse memang telah teesedot oleh kesendirian. Dia hidup tanpa Jamie sejak semua orang yang ia sayang perlahan meninggalkannya.
Dan sekarang dirinya hanyalah sebuah buronan. Seorang gadis yang dituduh telah membunuh kakak nya sendiri.
Garnayse tertunduk dan menghirup lendir yang sudah tertumpuk di dalam rongga hidungnya ketika ia mengucurkan air mata sejak dua menit yang lalu. Napasnya begitu sesak, pandangannya mengabur akibat air mata. Dia tak pernah merasakan kesendirian yang benar-benar nyata. Berada di antah-berantah dan dikelilingi oleh orang-orang pejuang atau bisa disebut 'survivor' yang sangat asing dengan budaya tempat ia dibesarkan. Kehidupan di sini jauh lebih keras daripada di Sentral City. Garnayse takut, merasa begitu asing, dan tak tahu harus ke mana lagi selain ke tempat ini.
"Garnayse?"
Garnayse yang masih tertunduk itupun segera mengusap air matanya dengan cepat. Itu suara Gerald yang datang secara tiba-tiba dan memergoki dirinya sedang menangis tersedu-sedu tanpa suara.
Kedua alis Gerald saling bertaut ketika lelaki itu melangkah mendekati Garnayse. Ia menatap gadis itu dengan pandangan iba.
"Kau baik-baik saja? Apakah luka mu sakit lagi?" Tanya Gerald pelan sembari mengusap pundak Garnayse yang masih belum siap mengangkat wajahnya.
Garnayse menggelengkan kepala. Gerald menunggu hingga akhirnya Garnayse mau mengangkat wajahnya dan menatap Gerald sekilas. Gadis itu tidak mau orang lain melihatnya habis menangis.
"Jangan menangis, Garnayse. Kau tidak perlu menyembunyikan apapun dariku. Jika ada yang ingin kau ceritakan aku siap mendengarkan."
Garnayse mengangguk lemah. Ia berdeham ketika merasa tenggorokannya begitu serak. "Terima kasih, Gerald. Aku hanya teringat sedikir tentang kakakku."
Gerald menghela napas. Dia semakin yakin kalau Garnayse bukanlah pembunuh sebenarnya.
"Kalau begitu ayo, aku rasa Jupiter sudah menunggu kedatanganmu." Gerald membantu Garnayse untuk turun dari brankar.
* * *
Pagi itu terasa berbeda. Sudah lama sekali rasanya sampai pada akhirnya Garnayse masih bisa merasakan udara pagi. Selama sepuluh hari dia tidak diperbolehkan keluar dari dalam gedung demi keselamatannya. Kedua mata nya pun belum terbiasa dengan sesuatu yang terang secara alami padahal matahari tidak memancarkan cahaya nya terlalu berlebihan. Langit sedikit berawan kelabu, tetapi tidak juga sejuk. Karena, bumi sudah lama sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garnayse
Science FictionKehidupan di kota New York harus terbagi menjadi empat distrik atau mereka sebut empat daerah. Dengan di tengah empat daerah itu terdapat sebuah kota kecil sebagai penopang bernama Sentral City. Kehidupan tidak membaik meskipun New York di perkecil...