Salam Gaharu untuk Gaia

869 131 77
                                    







Untuk, istriku.
Gaia Shatara Bayuni.

Bagaimana kabarmu, Ya?
Ketika cakrawala sudah merengkuhmu, apakah aku masih harus mempertanyakan keadaanmu? Mungkin seharusnya tidak, sebab semua orang di sini selalu berkata kamu sudah di tempat yang terbaik, jauh dari ingar bingar dunia yang membuat penat. Syukurlah jika langit benar-benar memberimu tempat bernaung penuh keteduhan, maka ada satu hal yang sekiranya dapat aku syukuri perihal peninggalanmu.

Apakah kamu menyaksikan hariku yang payah ini? Bubuhkan padaku riak sederhana, seumpama kamu kerap memperhatikanku dari tempatmu. Aku membutuhkan suatu tangan kecil yang dapat mendekapku, Ya. Meyakiniku bahwa perjalanan hidup masih panjang. Meski sukar menapakinya, tetapi bukan berarti aku terjerembap dalam nestapa kemalangan ini selama-lamanya.

Jarak langit dan bumi terlalu jauh ya, Ya? Hingga terlampau muluk-muluk permintaanku untuk menuai dekapanmu lagi. Namun, aku benar-benar membutuhkan itu, sebagai penawar selepas berhadapan dengan hari-hari yang gulita ini.

Ya, selera makanku sedang tak karu-karuan. Jika kamu ada di sini, pasti kamu akan memarahiku. Tempat tinggal kita terlalu hampa, makanya aku enggan untuk makan. Tidak hanya tempat tinggal, tetapi semesta juga menjelma ruang hampa yang paling juara, setelah hari di mana Tuhan memintamu untuk pulang. Langit sangat membutuhkan kehadiran Gaia Shatara Bayuni, kah? Hingga langit memintamu untuk segera kembali, sementara aku dibiarkan menggelandang sendiri di bumi.

Saat ini aku tengah terjebak macet di Jalan Tol Cikampek, Ya. Lelah dan penat sekali rasanya. Aku memandangi deretan mobil-mobil itu, berharap semangatku mungkin terselip pada jarak antar mobil dalam kemacetan hari ini. Hidup itu penuh kejutan, makanya aku mencoba mencari kejutan-kejutan itu. Sudah tenat ragaku untuk menjumpai hari-hari panjang di dunia ini, lengkap dengan segala kejutannya.

Kadang kala,  terbersit niat untuk mendengarkan nasihat-nasihat orang lain selepas kepergianmu. Mereka menyuruhku ikhlas. Sampai saat ini, aku masih belajar untuk mengikhlaskanmu seraya berharap agar jalanmu dilapangkan dan dipermudah. Laraku tidak menyusahkan langkahmu 'kan, Ya? Semoga saja tidak.

Nasihat lain juga menyuruhku agar perlahan kembali menata dan melangkah, meski terseok serta gontai. Nyatanya, menata memang tidak pernah mudah. Apa aku harus menyewa jasa pekerja bangunan untuk menata ini semua? Mungkin, pekerja bangunan itu harus dari langit, agar hasilnya dapat sangat apik. Hahaha, bercanda.

Aku membahas pekerja bangunan lantaran melihat pekerja proyek jalan tol yang tengah istirahat. Mereka menandaskan dahaga dengan menenggak sebuah minuman dingin dari dalam plastik. Terlihat minuman itu sangat jitu dalam mengentaskan dahaga di tengah teriknya panas matahari yang membakar kulit.

Jika para pekerja itu terselamatkan dengan satu kantung es untuk permasalahan mereka, lalu penyelamatan untukku berupa apa?
Aku adalah pengembara malang yang tersesat di tengah gurun pasir yang luar biasa terik. Tidak hanya membakar kulit, panasnya juga mampu untuk mendidihkan darah, menghanguskan otak, serta mematikan hati. Di mana oasisku? Apa aku tidak pantas masuk ke dalam deretan orang-orang yang selamat?

Aku telah kehilangan arah, Ya.
Bantu aku.

Jika dengan menukar seluruh harta benda yang aku punya, dapat kembali membuatku bertemu denganmu meski hanya satu hari, maka tawaran paling menggiurkan itu akan aku indahkan. Setelahnya, aku akan berdoa siang dan malam, meminta diberi kekuatan untuk kembali bangkit menjelajahi kehidupan. Atau mungkin, meminta untuk mempercepat kematian? Aku tidak tahu. Sebab, keinginan utamaku adalah kembali bersamamu.

Lamunanku kian terpental pada perjumpaan pertama kita. Malam itu, seharusnya aku tidak pergi ke rumah Alana lantaran besok aku harus ujian. Namun, Bunda Alana justru memaksa dengan alasan ini adalah permintaan dari Alana. Tidak disangka, di malam perayaan ulang tahun Alana yang ke tujuh belas, justru aku bertemu dengan jodohku.

"Yang ini namanya Kak Gaia." Alana mengenalkanmu dengan semangat yang berapi-api. Itu terpancar jelas disorot matanya, Ya. Sebelum perkenalan itu, ternyata Alana sudah merencanakan itu semua. Ia lelah melihatku menjomblo terus-terusan. Seorang mahasiswa kedokteran harus memiliki tempat peraduan, katanya.

"Gaya bebas? Gaya magnet?" Pertanyaan yang keluar secara naluriah ini, kamu anggap sebagai sebuah ejekan. Hingga membuat wajahmu murung.

"Gaia. Pakai i bukan y. Gaia Shatara Bayuni." Kamu berkata tegas waktu itu, lengkap dengan sorot mata kesal.

Dalam hati, aku memuji asmamu yang nampak unik lagi cantik. Meski aku tidak tahu maknanya, tapi aku yakini bahwa asmamu memiliki filosofi yang mendalam.

"Gaharu," ujarku.

Kamu nampak tidak percaya setelah aku menyebutkan namaku. Terlihat jelas kamu mengulum senyum, entah apa alasannya. Awalnya aku kira namaku keren, tetapi nyatanya tidak begitu.

"Kayak nama kayu. Lucu."

Tidak ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama di antara kita, terlebih lagi kisah benci jadi cinta. Kisah kita hanya milik kita, Ya. Dimulai akibat saling heran mengenai makna sebuah nama. Siapa menyangka, ternyata denganmu aku diperkenankan jatuh cinta sedemikian dalamnya, hingga tak ada yang mampu untuk merengkuhku kala situasinya sudah tak lagi sama.

Aku tidak lagi menghamba pada kebahagiaan. Aku hanya ingin sesuatu yang nilainya lebih sederhana. Aku butuh kekuatan untuk hidup dengan baik, dengan selayaknya hidup yang umum untuk ditapaki. Namun, nyatanya tetap sulit. Aku coba untuk merangkak, sebab tungkai ini masih terlalu lemah kala diajak untuk berjalan.

Di hari itu, semua orang bertanya kronologi mengenai pergimu. Jujur saja, aku sudah penat untuk menjawab pertanyaan serupa. Belum lagi penghakiman lain serta perandaian yang hanya menyakitiku saja. Aku termenung di depan pintu kamar kita, memandangi ranjang yang bahkan ingin aku maki meski kejadiannya sudah hampir empat puluh hari silam.

Ya, apakah kamu juga menyalahkanku?
Menyayangkan pagi itu justru aku sibuk siapkan sarapan pagi, tanpa ada sedikit pun niat menengokmu.
Apakah kamu juga kerap berandai-andai hal serupa?
"Ah, jika saja si Gaharu itu tidak coba-coba dengan pancakenya, aku pasti akan tetap ada di dunia."
Atau mungkin, yang menjemputmu justru sempat memberimu waktu untuk diselamatkan? Namun, sampai diakhir penantianmu, aku tidak pernah datang.

Pernah tidak, Ya?
Sebab, aku tenat.
Disalahkan ribuan kali oleh diri sendiri.

Kata maaf untukku, apakah masih bernilai?
Pengampunan bagiku, apakah masih tersedia?
Atau, selain dipaksa menjalani sisa hidup sendirian, takdir dalam hidup ini juga menggariskanku menjadi pecundang?

Gaia, kamu bahkan sudah pergi jauh. Biasmu mustahil aku rengkuh. Kepergianmu berhasil membuatku mengenyam sesaknya terhunus sebuah belati yang baru diasah. Mata belati ini begitu tajam, lagi dalam sayatannya. Membuatku menerka, apakah bambu runcing dalam perang gerilya, sama tajamnya? Jika benar sama, aku perlu sebuah ramuan obat serupa. Sayangnya, ini berbeda. Belati yang menghunus diriku mengantarmu sampai surga.

Nyatanya, ini bukan cerita yang melegenda. Ini tentang Gaharu yang sukar melanjutkan hidup setelah ditinggal seluruh jiwanya.

Seluruh jiwanya itu siapa?
Kamu, Gaia.










Kertas ini semula basah.
Namun, sengaja aku keringkan.
Aku merasa sungkan. Sebab, setitik
air mata itu tetaplah unsur dunia.
Tidak boleh masuk ke surga, bukan?

Bandung, Juli 2019.
Gaharu Sadha Lubis.

SURAT INI TANPA ALAMATWhere stories live. Discover now