Sebelum Satu Tahun [ENDING]

706 90 81
                                    

## PENTING ##
Halo, teman-teman!
Untuk chapter terakhir ini, aku tuliskan sedikit berbeda dari sebelumnya. Biasanya dalam satu chapter, hanya memuat sebuah surat, tetapi kali ini akan ada penggalan-penggalan dari kisah yang lainnya.

Selamat membaca 🖤



━✧❀✧━



"Ini kado besar banget, sih? Isinya apa?"

Begitulah respon pertama kamu kala dikejutkan dengan sebuah kotak yang terbalut kertas berwarna hitam dan di atasnya tersematkan sebuah pita besar warna abu-abu. Ini adalah hadiah untukmu, dengan maksud merayakan ulang tahun kamu. Namun, karena terkendala beberapa hal, kado ini tidak datang tepat waktu.

Aku yang berdiri di belakang kamu hanya dapat tersenyum riang, aku sama gugupnya denganmu, Ya. Aku merasa takut kamu tidak menyukai hadiahnya. Kamu berulang kali menoleh ke arahku, tampak ragu-ragu membuka simpul pitanya.

"Sayang, ini besar banget, tau! Kamu ngadoin aku mandi bola, ya?"

Kamu itu agak berlebihan, Ya. Kotaknya nggak sebesar itu, tetapi kamu berkali-kali mengatakan bahwa kado yang aku siapkan sangatlah besar. Aku sampai tertawa geli dan mengacak rambut kamu. Aku sudah tidak sabar melihat kamu membuka kadonya, tetapi bukan istriku namanya jika tidak suka mengulur waktu. Alih-alih membukanya, kamu justru tertawa geli dan menuduhku yang bukan-bukan.

"Ini bukan bom 'kan?"

"Heh, enak saja! Makanya dibuka dong, Ya!"

"Iya, ini aku buka."

Aku justru yang terlihat lebih tidak sabaran, padahal hadiah itu aku juga yang siapkan. Kamu justru tertawa dan akhirnya membuka simpul pita dan menarik kertas pembungkusnya secara perlahan-lahan. Saat kertas pembungkusnya sudah terbuka semua dan menyisakan sebuah kotak dengan nama dan logo dari brand ternama, kamu terdiam. Kamu menutup mulutmu, menatap kotak beserta tulisan logo itu dengan takjub. Aku yang sudah terlampau gemas padamu hanya dapat mengusap-usap surai hitammu.

"Sayang, terima kasih," ujarmu. Kamu akhirnya merengkuhku dan yang membuatku sedikit kaget adalah kamu yang waktu itu menangis. Bukan menangis haru, tapi menangis jelek—ini kamu loh yang kasih nama, Ya. "Aku pernah satu kali pinjam sama Mami karena mau pakai tas ini, tapi sekarang dikasih sama suamiku. Ya aku jelas terharu, karena nggak perlu pinjam ke Mami lagi. Ini aku jelasin, supaya kamu nggak nanya aku kenapa nangis," pungkas kamu.

Aku sontak tertawa waktu itu, lalu mengusap air mata yang masih menggenang. Aku juga mengecup kepalamu dan mengusap punggung seraya memelukmu. Beberapa detik berselang, kita kembali tertawa lagi, entah tawa ini melambangkan apa.

Saat itu aku justru teringat pada satu moment, Ya. Sebelum menikah, Papa pernah mengajakku untuk berbincang mengenai dirimu. Dari matanya, tergambar jelas binar kebanggaan dan cinta yang mendalam untuk anak perempuan sulungnya. Ia tidak membanggakanmu dengan terang-terangan, tetapi ia menjabarkan padaku mengenai sisi lain dari dirimu. "Gaia itu yang paling sederhana di antara kami. Kalau kata Neneknya, sikap dan sifatnya itu yang paling membumi. Saya rasanya tidak salah memilihkan dia nama, karena doa itu sampai dalam jiwanya. Tetapi, Ar, sebagai makhluk bumi, anak saya juga diselimuti dengan berbagai kekurangan. Ia keras kepala, mungkin karena tempaan dari saya dan Maminya. Ia mudah sekali tersinggung dan menangis, Gaia itu kuat sekali, tetapi aslinya dia cengeng dan mudah tersinggung. Karena terlalu sensitif, kedua adiknya itu panggil dia tukang ngambek," ujarnya.

Ada tambahan lain yang juga Papa utarakan padaku, dan perkataannya itu membuatku tergugu. Rasanya, aku tidak pernah salah menjatuhkan hati sedalam ini untuk perempuan bernama Gaia.

SURAT INI TANPA ALAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang