99

1.6K 86 8
                                    


Tak kan ada yang mengira keributan di meja itu adalah perkumpulan paruh baya. Tak ada muntahan kesombongan tentang keluarga dan karir. Atau rentetan petuah bijaksana paling benar sedunia.

Di meja itu keluhan tentang peliknya hidup akan disahut dengan tumpukan omelan penuh kepedulian tak berujung. Umpatan akrab menjadi kata penyemangat. Hanya penampakan hidangan di depan mata yang dapat mengundang sunyi. Kemudian tergantikan denting mangkuk, sumpit-sumpit yang beradu, jeritan makanan yang tergilas gigi.

Usia mereka sudah empat puluhan. Kelimanya sering menghabiakan waktu senggang bersama diantara nikmat waktu kesendirian. Mereka masih memperebutkan siapa yang menghabiskan makanan paling banyak saat teman sebayanya sudah sibuk menghitung biaya untuk persalinan anak. Jika menyaksikan tingkah kekanakan mereka, tak kan ada yang menyangka bahwa kelimanya adalah dokter handal di spesialiasinya.

Kekacauan kata di meja itu dipenuhi obrolan sederhana. Sekedar tentang pasien yang membaik hari ini, lift rumah sakit yang sempat macet, menu kantin siang tadi, atau hiruk pikuk jalanan yang semakin parah di musim dingin. Topik penyejuk hati diantara kepenatan yang tiada henti.

Pria tambun bernama Seokhyung terdiam di ujung meja sembari mengamati gelak sahabatnya yang tak pernah sepi meski tangan mereka sibuk melakukan ini dan itu. Dia paling minim kata daripada yang lainnya. Cara bicaranya yang cenderung datar dan bernada rendah sering membuat orang lain menganggapnya dingin tanpa empati.

"Kau benar-benar tak bisa jauh dari ponselmu," sindir Seokhyung pada pria kurus di sampingnya.

Pria tirus itu bernama Junwan. Ia tak lepas pandang dari layar ponsel sejak meninggalkan selasar rumah sakit tadi. Hubungan jarak jauh dengan sang kekasih membuatnya semakin lekat dengan benda pipih itu. Hanya kehadiran pasien di ruang periksa, meja operasi, atau kunjungan ke bangsal pasien yang dapat menghentikan tingkah menjengkelkannya itu.

"Memang,"sahutnya dengan gaya khas Junwan, singkat dan dingin.

"Tenang saja, kalau hari ini kau lebih suka ponselmu dari pada makanan-makanan ini, aku bisa menghabiskannya sendiri,"sambung satu-satunya wanita di antara mereka, Seokhwa.

"Iksun bukan anak-anak dan kau bukan lagi remaja. Berhentilah bersikap seolah hanya kau yang punya kekasih di dunia ini,"tegur pria berwajah usil, Ikjun.

"Remaja?!,"Junhwan mendesis sebal menanggapi sindiran Ikjun.

Di usia empat puluh disamakan dengan makhluk dengan emosi tak stabil bernama remaja, sisi dewasanya merasa tersinggung. Tapi Junwan menahan diri. Kalau saja lelaki itu bukan kakak kandung kekasihnya, ia tak akan segan menyerang dengan rentetan protes panjang.

"Lihatlah Jeongwon. Meskipun punya kekasih, dia selalu makan bersama kita, bermain band, mengganggu tidur siang Seokhyung, mengantar Seokhwa kontrol, bahkan bermain dengan Wooju di akhir pekan. Kekasihnya? Entah."

Yang disebut namanya menegakkan muka dari mangkuk makanan. Dia menatap Ikjun sebal sambil mengunyah nasi yang terlanjur terkurung di rongga mulutnya. Sekilas ucapan pria yang penuh senyuman itu terdengar seperti pujian. Tapi Jeongwon cukup cerdas untuk memahami maksud Ikjun yang sebenarnya sedang meledeknya.

"Hei, Anh Jeongwon, kamu ini benar-benar sedang kencan dengan dokter Jang atau tidak, sih?" selidik Junwan.

Kadang ada rasa ingin tahu tentang hubungan asmara Jeongwon yang datang dibenaknya. Mereka tinggal satu atap, Jeongwon yang menumpang lebih tepatnya. Bahkan mereka satu ruang kerja di rumah sakit. Tapi Junwan tak pernah menemukan jejak cinta di sekitar Jeongwon. Kebiasaan Jeongwon masih sama dengan sebelumnya. Pun tak ada benda-benda istimewa di meja kerjanya. Hanya beberapa kali ia memergoki Jeongwon minum kopi kaleng bersama kekasihnya di sela jam kerja. Entah di taman rumah sakit, ruang tunggu dekat UGD, atau tempat santai lain di rumah sakit.

Jeongwon mengosongkan separuh air putih dari gelasnya. Ia terlalu malu untuk menatap wajah para karibnya. Membahas tentang kehidupan asmara dengan teman-temannya terasa asing. Karena begitu akrab, reaksi mereka yang sering berlebihan membuatnya tak nyaman. Lagi pula terasa aneh membicarakan hal serius saat mereka berkumpul. Jika tak ingin menjadi bahan guyonan lebih baik bicara empat mata dengan salah satu dari sahabatnya sejak kuliah itu. Lagi pula dari satu orang itu, mereka akan tau semua pada akhirnya.

"Mereka kan OC (office couple), OC! Tak perlu menempel dengan ponsel kayak kamu setiap hari juga ketemu," sahut Ikjun.

"Akhir pekan begini, kamu gak ajak dia kencan?,"tanya Songhwa pada Jeongwon.

"Pria payah ini hanya mengajak kencan di rumah sakit,"lapor Ikjun.

"Benarkah?!" seru teman yang lain.

"Kasian dokter Jang,"timpal Seokhyung dengan nada tak berdosa.

"Dia sangat sibuk. Aku gak ingin mengganggu."

"Haaaiiihhh, kau ini benar-benar gak ngerti wanita," Ejek Junwan.

"Ajak dokter Jang kencan diantara waktu senggangnya. Dia pasti senang." tutur Songhwa.

"Dia hampir tak sempat makan dan tidur. Mana mungkin aku tega mengambil waktu senggangnya yang sedikit itu?"

Berkencan. Jeongwon masih canggung dengan hal itu. Mengatakannya saja terasa aneh. Tentu saja ia ingin menghabiskan banyak waktu bersama kekasih yang dicintainya. Sebelum memiliki hubungan serius mereka sudah sering bersama. Tentu saja, karena kekasihnya adalah dokter residen di departemen tempat ia bekerja. Jeongwon tak benar-benar tau bagaimana membuat hubungan mereka lebih istimewa dari pada sebelumnya selain lebih jujur dan terbuka mengekspresikan perasaannya.

"Yah! Kau lebih bodoh soal kencan daripada yang kuduga,"Ikjun membebaskan sumpit dan sendok dari kedua tangannya. Ingin ia meraih kerah kemeja Jeongwon lalu memberinya sedikit cubitan. Ikjun begitu gemas melihat kepolosan temannya itu.

"Bagi Gyeoul, bersamamu itu lebih berharga dari pada makan dan tidur. Dia saaaangat menyukaimu, kau tahu?" ungkap Ikjun, yang biasa menjadi tempat curhat Gyeoul. Bukan karena Gyeoul suka bercerita. Tapi Ikjun yang punya rasa ingin tahu tak terbatas itu selalu bertanya ketika ada kesempatan.

Jeongwon terhenyak. Perkataan Ikjun memukul telak kepercayaan dirinya. Ia memang belum lama berkencan. Sialnya hubungan dekat itu terjadi di tahun keempat residen Jang Gyeoul, kekasihnya. Tahun sibuk, penuh tekanan, tugas, tanggung jawab, dan persiapan ujian. Ditambah tugas harian dokter residen. Mendampingi dokter spesialis saat kunjungan pasien rawat jalan, menjadi asisten operasi, belum lagi panggilan pasien darurat.

Setelah lebih dari setahun menjadi dokter di rumah sakit itu, baru kali ini Jeongwon menyesalkan kondisi departemennya. Kenapa departemen bedah umum memiliki 13 dokter spesialis dan hanya ada Gyeoul seorang sebagai residen senior yang diandalkan dokter-dokter spesialis itu. Sedangkan dua residen baru belum begitu cekatan menangani operasi rumit dan mendesak. Sibuk. Hingga rumah sakit seperti rumah bagi Gyeoul.

"Kalau kau mempelakukannya seperti ini, dia akan merasa diabaikan, kau tahu?" Songhwa mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.

Jeongwon memandang kosong pada menu makanan yang baru datang. Dalam diam, ia memikirkan ucapan teman-temannya. Selama ini ia bertindak sesuai kehendaknya. Ia merasa sudah tau apa yang Gyeoul perlukan tanpa pernah  bertanya pada Gyeoul sendiri.

Benarkah ucapan teman-temannya? Apa ia salah membaca situasi? Lalu apa yang benar untuk dilakukan? Atau sebenarnya memang dia tak pernah memahami wanitanya? Berkencan ternyata lebih rumit dari pada yang ia duga.

Pria bermata teduh itu terjingkat. Ia merasakan rengkuhan di pundaknya. Jeongwon menoleh, mendapati Seokhyung dengan wajah datarnya mengangguk-angguk, memberi semangat.

Winter GardenWhere stories live. Discover now