17 - Can't Be Friends

180 35 6
                                    

April, 2015

Tidak pernah terpikirkan oleh Dion, bahwa seorang Daffania Anika, teman yang selalu sefrekuensi dengannya menyimpan perasaan kepadanya.

Setelah Nika mengungkapkan perasaannya, Nika pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang, meninggalkan Dion yang masih kebingungan. Sekali lihat, Dion tahu bahwa perasaannya bukan hanya sekedar rasa suka kepada teman. Sebagaimana dirinya menatap Kira, maka seperti itulah perasaan Nika untuknya.

Dion sudah mencoba sebisanya untuk benar-benar melupakan perasaannya kepada Kira. Tetapi usahanya selalu tidak menunjukkan hasil. Keberadaan Kira di dekatnya sangat berarti dan Dion tidak berani meminta lebih dari itu. Tapi ternyata, keinginan egoisnya itu malah membuat luka untuk orang lain. Untuk Nika. Dan tentunya, Dion sangat tidak ingin menginginkan hal itu terjadi.

"Kenapa lo?" Wuren menarik kursi kosong di depan Dion dan duduk di sana sambil meletakkan tasnya ke atas meja. "Kayak orang lagi banyak masalah,"

"Emang gue enggak boleh punya masalah?"

"Eits, jangan emosi, bro." Wuren tertawa kecil. "Kenapa? Si Nada?"

"Bukan lah," tepis Dion cepat. "Kenapa jadi si Nada."

"Ya kali aja lo kena karma atau dia ngejar-ngejar lo lagi. Jadi, lo kenapa?"

Dion menatap Wuren sejenak. Dilihat dari tampangnya, sepertinya Wuren tidak tahu apa-apa tentang hal ini—begitu pula dengan perasaannya kepada Kira. Dion tiba-tiba menghembuskan napasnya, dengan pasrah.

"Ah, enggak deh. Enggak bisa gue cerita sama lo." kata Dion.

Wuren mengernyitkan dahinya, "Kenapa enggak bisa? Lo pikir gue bakalan bocor ke Nika atau Kirana gitu?"

"Iya."

Wuren tergelak hebat tapi tidak menepis itu. Dion mendengus, di matanya, Wuren akan selalu menjadi raja ular. Wuren kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ibu kantin—yang sudah sangat hafal makanan yang selalu mereka pesan setiap duduk di sana.

Dion mengetukkan jarinya beberapa kali ke atas meja dan atensinya teralih ke arah pintu, untuk melihat Handaru yang sedang berjalan masuk ke kantin. Lelaki itu tersenyum, memamerkan lesung pipinya dan duduk di dekat Dion setelah mengambil sebotol minuman di lemari pendingin.

"Rana mana, Yon?" tanya Handaru sambil membuka tutup minumannya.

"Di kelas sama Nika dan temen-temennya. Kok lo sendirian, Bang?"

"Gue abis bimbingan sama dosen."

Dion menyengir, senang mendengar Handaru selangkah lagi untuk segera menyelesaikan pendidikannya. "Jadi, kapan lo sidang?"

"Enggak tahu. Gue sih, maunya secepatnya. Eh, minggu depan kata Rana lo semua dari jumat kosong?"

"Kalau kata dia gitu berarti bener. Gue mana pernah inget jadwal kuliah,"

"Dasar lo," jawab Wuren seraya menyerahkan sebotol minuman kepada Dion lalu menatap Handaru. "Kosong kok, Bang. Kenapa tuh?"

"Jalan-jalan yuk, ke Jogja. Lumayan kan? Tiga hari. Kita naik kereta." balas Handaru.

"Bisa bisa!" seru Dion dengan semangat. Kalau dipikir-pikir, mereka memang sudah lama tidak liburan.

"Tadi lesu abis sekarang semangat lagi. Aneh lo," ujar Wuren.

"Ah, bacot lo, Wuren. Yang penting kita jalan-jalan. Kirana sama Nika pasti seneng deh. Ntar gue kasih tahu Nika, lo yang kasih tahu Kira ya, Bang." kata Dion.

Handaru mengangguk, "Aman mah, kalau itu. Tapi, di Jogja nginep di mana ya kita?"

"Gue punya rumah di Jogja. Dijagain orang." jawab Wuren setelah meneguk minumannya.

TentangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora