BAGIAN DUA PULUH DUA

20 3 0
                                    

Arumi.

Di tengah kebingungannya, Lara datang tergopoh-gopoh dengan dasi sekolah yang masih miring, tangan sebelah kanan menenteng ransel, sebelah kiri menenteng buku, dan gigi menggigit topi.

Ribet amat, sih. Kenapa topinya enggak dipakai dulu saja? Dasar murid tertinggal, umpat Arumi dalam benaknya. Ia melirik jam tangannya sekali lagi, lalu melihat ke arah kirana yang sedang sibuk menyiapkan dua bekal makan siang di kotak makanan berwarna merah muda dan hijau muda. Pasti itu bekal buat kami, tebaknya dalam hati. Arumi menghela napas panjang, ia tak sabar lagi bila harus menunggu Kirana selesai menyiapkan bekal makanan.

Kurang dua puluh menit lagi, Lara dan bekal belum juga selesai. Bisa terlambat beneran kalau begini, Arumi mengetuk-ketukkan tangannya ke atas meja. Ia melihat Lara meliriknya, lalu menunduk lagi dan mempercepat sarapannya setelah tahu bahwa ternyata Arumi sedang melihatnya.

Tiga menit enggak selesai, aku naik ojek online aja, batinnya lagi sambil sibuk memakai tas ransel, dan siap-siap menekan tombol order di aplikasi ojek online berlogo lingkaran berwarna hijau. Jarum jam terus berjalan, dan sudah berputar 360° hampir tiga kali. Lima, empat, tiga, dua, satu. Oke, order, fix, Arumi benar-benar telah menekan tombol tersebut, dan tertera keterangan bahwa driver akan segera tiba karena lokasi driver dekat dengan rumahnya.

"Arumi berangkat. Enggak usah bekal," ucapnya berat. Ia sebenarnya ingin langsung berangkat begitu saja tanpa pamit, tapi ia malas mendengar ceramah dari ayahnya lagi. Kirana dan Erza tampak terkejut. Mereka berdua sama-sama bengong dalam beberapa detik, lalu memanggil Arumi setelah sadar dengan apa yang Arumi katakan.

"Eh, tapi, Arumi!" panggil Kirana pada Arumi yang telah sampai halaman rumah. Kirana melemparkan centong nasi yang dipegangnya begitu saja sampai centong nasi tersebut hampir jatuh ke wastafel. Ia hendak menyusul Arumi keluar, tapi Erza segera mencegahnya.

"Sudah, biar aku saja," ujar Erza sambil mengusap bahu Kirana. Kirana mengangguk cepat, mengisyaratkan bahwa ia harus segera menghentikan putrinya. Erza setengah berlari mengejar Arumi yang telah berada di luar pagar dan tengah menghentikan pengendara motor yang mengenakan jaket dan helm berwarna hijau terang.

"Arumi! Tunggu!" Teriak Erza agar Arumi mendengar panggilannya. Arumi tak menoleh sedikitpun. Ia terlihat sibuk menjelaskan sesuatu pada pengendara motor tersebut, kemudian naik di jok sepeda bagian belakang.

"Pak Ojol, tolong berhenti dulu!" kali ini Erza berteriak pada si pengemudi ojek online. Teriakan Erza yang amat lantang, membuat orang tersebut langsung menoleh ke sumber suara, kemudian menoleh pada calon penumpangnya yang terlihat kesal.

"Saya sudah telat nih, Bu," ucap Arumi pada perempuan berusia tiga puluh tahunan itu.

"Kita tunggu ayahmu dulu, ya. Sepertinya dia sedang memanggilmu," jawab perempuan tersebut. Arumi mendengus keras, lalu menggelengkan kepalanya ketika menyadari bahwa bel sekolah akan berdering lima belas menit lagi. Ia jadi menyesal juga telah menghalangi Kirana yang hendak membangunkan Lara tadi. Ini semua gara-gara Lara! gerutunya dalam hati.

"Ayah enggak perlu bicara apa-apa lagi. Mapel pertama hari ini Matematika. Arumi pasti dihukum berdiri di bawah tiang bendera kalau Arumi terlambat," ujar Arumi sebelum Erza berkata sesuatu.

"Tunggu Lara selesai, ya. Nah, tuh, Lara dah siap, juga," rayu Erza pada putri semata wayangnya. Arumi jadi bingung. Sebenarnya ia sangat malas ikut dengan ayahnya, tapi ia tak ingin berdebat semakin lama sehingga mereka tak segera berangkat.

"Ya sudah, lah," Arumi turun dari motor ojol dan bergegas masuk ke dalam mobil. Erza pun segera membayar tarif ojek yang dipesan Arumi, meski Arumi tak jadi menaikinya, dan meminta maaf karena hal tersebut.

"Maaf ya, Pak. Tidak apa-apa, kan, kalau putri saya tidak jadi naik?" ucap Erza sambil mengulurkan dua lembar uang rupiah berwarna ungu.

"Iya, tidak apa-apa, Pak. Tapi saya perempuan. Terima kasih ya, pak," pengemudi ojek perempuan itu melepas helmnya, dan mengambil uang tarif dengan tersenyum. Erza sebenarnya malu karena mengira orang tersebut laki-laki, tapi ia hanya mengangguk lalu berlari menuju mobil.

"Sepuluh menit lagi bel bunyi," Arumi yang duduk di sebelahnya, berucap dengan ketus. Ia memilih duduk di kursi depan karena tak mau duduk dengan Lara. Sebab baginya, dari awal, Lara-lah yang menjadi semua sumber masalah.

"Oke, pakai sabuk pengaman semua, ya. Ayah akan coba sampai sekolah secepat mungkin," ujar Erza yang tengah memakai sabuk pengamannya juga. Beberapa detik kemudian, mobil matic tersebut meluncur dengan cepat seperti angin. Namun, tetap saja, ketika sampai di jalan besar, mobil mereka tak bisa disetting menjadi mobil terbang. Sepanjang perjalanan, Arumi mengerucutkan bibirnya, sambil sibuk menekan-nekan ponsel tanpa sedikitpun menoleh pada Lara dan Kirana.

[Nad, tolong lakukan sesuatu. Sepertinya aku bakalan telat,] tulis Arumi pada pesan whatsapp yang dikirimnya ke Nadine, teman sebangkunya, dan langsung centang dua berwarna biru, pertanda bahwa pesan tersebut telah dibaca. Lima detik kemudian ponselnya bergetar.

[OMG!]

[Oke,]

Arumi sedikit bisa bernapas lega meski tak tahu apa yang akan direncanakan oleh Nadine, tapi ia percaya bahwa kecerdikan Nadine dapat membantunya agar tak terlambat masuk sekolah. Sementara itu, Lara berkali-kali meminta maaf padanya, tapi Arumi sama sekali tak mau menanggapi.

Aduh... malah bikin berisik, sih, dalam hati, Arumi semakin mengomel dan mengumpat Lara dengan segala macam sumpah serapah. Pukul 07:03, mereka telah sampai di depan pintu gerbang, dan beruntung pintu tersebut belum ditutup sepenuhnya. Masih ada celah yang dapat dimasuki oleh tubuh Arumi dan Lara. Dari kaca mobil yang terbuka, ia melihat Nadine di sisi kiri ruang guru, tengah melambai ke arahnya, sambil kakinya dihentak-hentakkan ke lantai, mengisyaratkan agar ia cepat berlari menuju kelas.

"Ayo!" Arumi reflek mengajak Lara untuk tak melewatkan kesempatan yang ada.

Tanpa berkata apapun lagi, Arumi segera keluar dari mobil dan melesat cepat melewati celah pagar, lalu menuju ke arah Nadine. Ia tak peduli lagi apakah Lara ikut berlari atau tidak. Yang ia tahu, Nadine dengan cepat menyahut lengannya dan mengajaknya berlari menuju kelas.

Dengan napas terengah-engah, akhirnya Arumi dan Nadine telah tiba di depan ruang kelasnya. Namun, dengan cepat Arumi melepas tangannya dari pegangan Nadine, dan berhenti sejenak di tengah pintu kelas.

"Aku sudah enggak kuat," keluh Arumi sambil memegangi kedua lututnya. Nadine tak peduli, ia terus menarik Arumi hingga mereka dapat duduk di tempat duduk masing-masing, daripada mereka ketahuan para guru karena memasuki kelas melewati dering bel masuk.

"Lemah banget, sih. Gitu aja sudah cape?" olok Nadine pada Arumi yang terlihat kelelahan.

"Aku tadi masih bawa tas, tahu!" cibir Arumi dengan napas yang masih tersengal. Nadine segera mengipaskan buku tulisnya ke muka Arumi agar Arumi tak pingsan. Teman sebangkunya itu memang sangat pengertian, seringkali ia cepat tanggap membantu Arumi saat Arumi berada dalam kesulitan.

"Eh, aku tadi melihat ada anak kelas sepuluh turun dari mobilmu," ucap Nadine pada Arumi. Mata Arumi membulat. Padahal ia tak ingin teman-temannya sampai mengetahui hal tersebut.

-Bersambung-

Karena Kita adalah KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang