BAGIAN EMPAT PULUH

55 4 1
                                    

Hari sudah menjelang pagi. Mereka bertiga berusaha tak terlihat cemas walau sedang menunggu kabar perkembangan Mama. Arumi berkali-kali menenangkan Lara, meski ia sendiri juga tampak meremas-remas telapak tangannya yang terasa dingin seperti di kutub selatan. Sedang Lara sedari tadi hanya menatap di balik kaca ruangan dengan harapan besar agar Mama segera sadar.

"Jangan cemas, Lara," ujar Arumi sambil menepuk bahu Lara. "Mama pasti sembuh," lanjutnya.

Seorang perawat keluar dari ruang ICU. Tak lama kemudia ia kembali bersama dokter yang merawat Mama. Dokter tersebut memeriksa Mama dengan teliti. Setelah beberapa pemeriksaan, dokter tersebut keluar dari ruang ICU.

Ayah bersama Lara dan Arumi bergegas bangun dari tempat duduknya dan menemui dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Ayah.

"Istri Anda telah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu ia sadar, setelah itu bisa dipindahkan ke kamar rawat inap biasa," ujar sang dokter sambil tersenyum.

"Syukurlah," Ayah menghela napas panjang.

Mata Arumi dan Lara berkaca-kaca karena bahagia. Doa mereka terkabul. Mama akan sehat kembali.

"Apa kami boleh masuk, Dokter?" tanya Arumi tak sabar.

"Boleh, satu orang saja sekali masuk," terang dokter berkacamata tersebut.

Tanpa bertanya apapun, Lara segera berlari menerobos pintu ICU. Seorang perawat menahan Lara. Ia harus melakukan sterilisasi diri terlebih dahulu, memakai pakaian luar, sarung tangan, dan penutup kepala. Kemudian Lara baru diizinkan masuk ke ruangan tempat Mama dirawat.

Lara memegang tangan mamanya yang masih tak sadarkan diri. Perawat tak mengizinkan Mama melakukan kontak fisik berlebihan. Mata Arumi kembali berembun ketika melihat Lara dari luar ruangan.

"Ayah, andaikan kemarin Mama tidak mendengar apa yang Arumi ucapkan, mungkin Mama tidak akan seperti ini," kata Arumi menyesal.

"Sudah, Sayang. Tidak apa-apa. Arumi tidak salah. Lagi pula Mama sudah membaik," jawab Ayah.

Jari Ayah membetulkan rambut Arumi yang menutupi sebelah matanya. Dalam benaknya, ia teringat masa saat ia harus menenangkan Arumi ketika mereka berdua kehilangan sosok bidadari dalam hidup mereka. Aku berjanji akan menjaga putri kita sebaik mungkin, Sayang. Arumi akan menjadi wanita yang baik sepertimu, pikir Ayah.

"Ayah, Mama kenapa lagi?" tanya Arumi membuyarkan lamunan ayahnya.

Ayah juga tak kalah panik ketika melihat Lara menekan-nekan tombol bantuan dengan air mata berlinang. Tak lama kemudian, seorang suster mendatangi ruangan tersebut dan memeriksa Mama lagi. Tubuh perawat yang berdiri di sisi kanan, membuat Arumi dan Ayah kesulitan melihat apa yang terjadi pada Kirana. Arumi sudah tak tahan lagi, ia hendak berlari masuk ke ruangan, tapi Ayah dengan cepat mencegahnya.

"Biarkan Arumi masuk, Ayah," pinta Arumi sambil menangis dan berusaha melepaskan pegangan ayahnya.

"Kita harus mematuhi peraturan rumah sakit, ya," ujar Ayah.

"Bapak dan putrinya boleh masuk ke ruangan," ujar perawat yang tiba-tiba membuka pintu ruang ICU. Arumi mendahului Ayah masuk ke dalam. Setelah melakukan prosedur kunjungan ruang ICU, Arumi berlari menuju ruangan Mama.

"Mama!" teriak Arumi. Ia menangis dan berusaha memeluk tubuh ibu tirinya tersebut. Seorang perawat mencegahnya. Saat ini Mama sedang belum dalam kondisi diizinkan melakukan kontak fisik.

"Syukurlah Mama sudah sadar," ucap Arumi bersama tangisan harunya. "Maafkan Arumi, Ma. Arumi yang sudah membuat Mama begini," lanjutnya.

Mama berusaha memegang tangan Arumi. Dengan sigap Arumi menyerahkan tangannya untuk dipegang Mama. Lara mundur agar Arumi dapat berdiri di dekat Mama.

Karena Kita adalah KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang