Bab 20 - Bagian 1

49 9 0
                                    

      Melihat senyum tulus yang sempat memporakporandakan hidupnya, membuat hati Nala Sasmita adem.

      Ah, kenapa harus bertemu dalam keadaan seperti ini? Kalau saja gue tahu Citra sudah janda? Emang kenapa kalau dia janda? Emang Citra yang baik itu mau sama banjingan kayak lo?  Sasmita terus mengumpat dalam hati.

Hidupmu kotor Nal! Terlalu kotor untuk perempuan sebaik Citra!

      Argh ... Nala berteriak frustasi. Gawai yang tidak berdosa dilempar ke sudut kamar hotelnya. Benda pipih itu hancur berantakan.

     Membayangkan perempuan yang pernah hadir dalam mimpi-mimpinya menderita membuat Nala Sasmita sangat marah. Citra yang lembut, baik dan perhatian tidak layak menerima pengkhianatan dari adiknya. Nala Sasmita teringat saat-saat bersama Citra dulu.

       "Kenapa Na, kusut amat?"

Sapaan gadis ayu dan lembut disampingnya membuat jantung Nala Sasmita berdetak cepat. Gadis yang diam-diam merusak mimpinya sejak bertahun-tahun lalu. Mereka berteman sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Kemudian mereka berdua masuk UGM, hanya beda jurusan. Citra masuk akuntansi, Nala Sasmita masuk teknik geologi. Mimpi masa kecilnya.

        Gadis itu duduk manis di sebelahnya dengan tangan kiri Citra menapang dagu. Tatapan lembutnya, fokus memperhatikan  sahabat yang terlihat kusut.

      "Na, ada apa?" tanya Citra sekali lagi. Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan.

      "Gak pa-apa. Capek aja," sahut Nala tidak menyakinkan.

Citra mengenal Nala Sasmita. Laki-laki itu memiliki hati dan semangat sekeras wajahnya. Terlahir dari keluarga sederhana tidak membuat Nala Sasmita menyerah kepada keadaan, malah sebaliknya. Nala Sasmita contoh pejuang tamgguh, yang membuat Citra selalu berusaha kuat. Mengingat itu semua, Citra yakin Nala Sasmita menyembunyikan sesuatu, tetapi gadis itu tidak mau memaksa.

       "Besok kamu jadi pulang?" Nala Sasmita balik bertanya, seperti usaha menghindari kecurigaan Citra.

       "Kok aku? Emang kamu gak jadi pulang juga?" Wajah cantik itu cemberut.

       Mereka sama-sama tinggal di Solo, jadi mereka biasa pulang bareng, berboncengan dengan motor GL pemuda itu. Dengan motor itu juga mereka berangkat ke kampus bareng. Nala Sasmita akan mengantar Citra ke fakultas ekonomi, baru ke fakultasnya sendiri. Nala sengaja kos tidak jauh dari Citra agar bisa menjaga gadis itu.

       "Aku gak jadi pulang, ada tugas kelompok," sahut Nala berbohong.

        Kebohongan pertama yang melahirkan kebohongan-kebohongan selanjutnya. Sejak hari itu, Nala lebih sering menghindari Citra. Mereka hanya bersama saat berangkat kuliah, selebihnya Nala sibuk dengan aktivitasnya mencari uang agar bisa bertahan.

       Citra bukan tidak menyadari perubahan sikap sahabatnya, sekali lagi dia tidak mungkin memaksa. Senyuman lembutnya kembali terbit, dalam hati Nala lega, gadis itu tidak marah.

      "Gak apa-apa kan kamu pulang naik kendaraan umum?"

      "Yo ora papa, mosok yo minta dijemput? Sopo sing gelem jemput aku?" jawabnya tertawa. Mereka kembali bercerita tentang makin banyaknya tugas yang harus mereka selesaikan.

       Ternyata Citra tidak tinggal diam. Gadis itu mencari tahu masalahnya. Dua bulan tidak pulang, akhirnya Nala Sasmita memutuskan untuk pulang. Kali ini ganti Citra yang tidak bisa.

       Sampai di rumah Nala dibuat malu dengan apa yang sudah dilakukan gadis yang dicintainya itu. Tanpa mengatakan qpa pun, Citra banyak membantu keluarganya. Setiap pulang, Citra selalu mampir membeli obat ibunya, juga menyediakan stok kebutuhan makanan buat adik-adiknya. Kebaikan Citra membuatnya makin sadar diri untuk menanggalkan rasa yang setiap hari makin menguat.

       "Aku tidak pantas untukmu," pupusnya sedih.

       Nala Sasmita tidak pernah menyangka Wiryawan memintanya menyingkirkan Citra. Padahal Nala Sasmita mengambil pekerjaan itu karena rasa utang budi yang dimilikinya. Cara membayar utang yang konyol!

       Hari ini, melihat bagaimana wanita itu hidup bersama anak laki-laki membuatnya ingin kembali melindunginya. Satu jam yang lalu, dia kembali menemui Citra di rumah itu. Tidak seperti pertemuan pertama mereka pagi tadi, kali ini Citra menerimanya masuk ke dalam rumah. Tentu saja karena ada Danta di sana.

        Citra tidak banyak bercerita tentang keluarganya, tetapi dia mintanya untuk merahasiakan keberadaannya. Tentu saja Nala Sasmita menyanggupi, tanpa diminta pun laki-laki itu tahu yang harus dikerjakannya.

       "Wiryawan, kamu sudah bermain-main denganku. Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu!" desisnya marah.

        Laki-laki berambut cepak itu membanting tubuhnya ke tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar tempatnya menginap.

        Drrt ... getaran dari kantong celananya membuatnya bangun. Mengambil benda pipih berlogo apel itu, satu nama muncul di layar.

        "Ya, gimana? Sudah dapat?" tanyanya tidak sabar.

        "......"

        "Lo yakin? Gak salah orang 'kan?"

         "......."

         "Oke, malam ini gue jalan. Thanks informasinya." Nala langsung mematikan alat komunikasinya. Sejenak diam, seperti menimbang sesuatu sebelum menelpon seseorang.

        Nala harus menunggu beberapa saat, sebelum telponnya dijawab.

       "Assalamu'alaikum," sapanya dengan suara rendah.

      "......."

      "Aku mau pamit, ada kerjaan. Dua atau tiga hari lagi aku kembali ke sini," pamitnya pada seseorang di seberang sana.

       "......"

Nala manggut - manggut mendengarkan orang itu berbicara.

       "Percayalah aku gak bakal ngomong ke siapa-siapa. Kalian jaga diri ya," pesannya tenang.

       "......"

       "Oke, waalaikum salam." Nala Sasmita mengakhiri panggilannya dengan wajah cerah.

       Laki-laki gagah itu berdiri, melangkah mengambil gawai pertama yang sudah dihancurkannya. Benda pipih berwarna hitam itu dilempar begitu saja dalam ranselnya. Menjejalkan pakaian kotornya, mengambil rokok dan pemantik dari atas meja, lalu menyimpannya dalam kantong celana.

       Mata elangnya bekerja cepat, menyapu semua bagiaan kamar hotel sebelum melangkah keluar dengan ransel di punggung. Nala mampir ke resepsionis untuk mengembalikan kunci dan mengambil tanda pengenalnya. Gadis cantik dengan baju seksi yang melayaninya, tersenyum manis. Sesekali matanya melirik wajah tampan di depannya.

       "Sudah mau cek out, Mas? Bukankah sampai besok siang?" tanyanya memastikan. Nala Sasmita mengangguk dingin.

       "Ganteng-ganteng serem," omel si gadis pelan. Nala Sasmita diam tidak berniat menanggapi. Dengan cepat gadis cantik itu menyelesaikan tugas. Masih dengan senyum manisnya, diserahkannya kartu pengenal tamunya.

       "Terima kasih, Mbak Sari!" Nala mengangguk sopan, sebelum berlalu. Gadis cantik itu melonjak kaget, senang namanya disebut.

      Dengan langkah gagah Nala Sasmita menuju tempat parkir. Masuk ke dalam mobil Jeep Land Cruiser-nya, ransel dilemparkan begitu saja di jok belakang. Tidak lama mobil lawas itu bergerak meninggalkan hotel, berbelok ke arah Selatan.

        "Tunggu gua!" Desisnya dingin.

                  ***

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now