EMPAT

8 1 0
                                    

Aku masih terdiam menatap ketampanannya. Sampai Raihan memanggil namaku dan membuatku tersadar.

"Raya,"paggilnya.

"Eh, iya,"jawabku gugup.

"Kamu yang nabrak aku disekolah tadi pagi ya?"tanyanya.

Aku terdiam beberapa detik lalu kembali menjawab pertannyanya.

"Hehe iya maaf, gak sengaja,"ucapku.

"Kok beda banget ya, di sekolah sama di rumah,"ucap Raihan sambil memandangiku dari kaki sampai atas kepala.

"Perasaan sama,"ucapku asal.

"Serius, kalo di rumah tambah cantik."

Dasar gombal,batinku.

"Hahha bisa saja,"tawaku hambar.

"Kamu udah punya pacar?"tanya Raihan tiba-tiba.

Aku terdiam memikirkan pertannyaannya. Aku berpikir mungkin Raihan salah dengan pertannyaanya atau bahkan dia sedang mengigau. Sampai aku tersadar dari pikiranku karena sentuhan tangannya di bahuku.

Aku menatapnya, dia memang tampan secara fisik. Bahkan aku tergoda dengan ketampananya apa lagi mata coklat dan alisnya yang tebal tidak lupa dengan hidung yang begitu mancung. Tetapi aku juga tidak suka dengan sikapnya yang blak blakan. Padahal baru kenal sudah berani bertanya-tanya.

"Ray, kamu dengar kan apa yang aku tanyakan?"tanyanya lagi.

"Ah iya. Belum,"jawabku.

"Kenapa kamu bertanya bergitu?"sambungku.

"Hanya memastikan,"jawabnya.

Aku tidak memperdulikannya lagi dengan sibuk membalas chat dari Vivia. Raihan merasa terabaikan untuk beberapa menit.

"Ray, jangan sibuk sendiri dong. Aku lebih peting lo dari hp kamu,"ucapnya.

Aku menatapnya malas, walau memiliki wajah tampan tetapi sikapnya ini yang membuatku kesal.

"Ini lebih penting,"jawabku padanya.

"Ya sudah deh, aku mau pulang aja,"ucapnya seraya beranjak.

Tanpa pikir panjang aku meraih lengannya dan menyuruhnya duduk kembali, dan dia menurutiku.

"Kenapa?"tanyanya saat dia sudah duduk kembali.

"Jangan pulang dulu lah, sini aja,"ucapku.

Alasanku menahanya bukan karena aku ingin berlama-lama dengannya. Tetapi karena aku takut dengan ancaman Bunda. Bisa saja, jika Raihan pulang dan membuat Bunda tidak enak pada klain Ayah dan berdampak pada uang jajanku. Aku tidak terima hanya karena masalah seperti ini uang jajanku hilang. Padahal aku sudah beberapa bulan ini mengumpulkan uang untuk bisa liburan bersama Vivia dan teman kelasku yang lain.

"Kamu gak mau aku pergi ya? Tapi kenapa kamu cuekin aku terus?"ucapnya.

Aku mematikan ponselku lalu meletakkan di sebelahku dan menatap Raihan.

"Bukan begitu, ini pesan dari sahabatku, tidak mungkin aku tidak membalasnya. Dan masalah kamu mau pulang. Aku gak enak lah, masa baru datang udah disuruh pulang aja,"ucapku menjelaskan.

Raihan hanya mengangguk mengerti. Sampai dia mengambil ponsel miliknya dari saku celananya. Dia memberikan ponselnya padaku.

"Masukin nomor kamu, biar kita bisa saling berhubungan."

Awalnya aku ragu, tetapi aku mengambil ponselnya dan memasukkan nomorku. Karena itu hanya sebuah nomor jadi tidak masalah.

"Nanti malam aku telvon ya,"ucapnya.

"Jangan!"jawabku.

"Kenapa?"tanyanya mengerutkan kening.

"Kalau malam ponselku aku matikan, jadi percuma kamu telvon,"jawabku padanya.

"Bohong, pasti kamu gak ngasih nomor asli kamu?"ucapnya curiga.

"Aku gak bohong,"jawabku.

Kemudian Raihan mencoba menelvonku dan benar saja ponselku bergetar tadanya ada panggilan masuk. Aku mengambil ponselku dan memperlihatkan layar ponselku pada Raihan.

"Tuh liat, aku gak bohong kan,"ucapku.

"Hehe iya,"jawabnya.

Tiba-tiba Bunda datang menghampiriku dan Raihan.

"Sayang, nak Raihan. Ayok masuk kita makan dulu,"ajak Bunda.

"Raihan makan malam di sini?"tanyaku polos.

"Iya sayang,"jawab Bunda.

"Emang aku gak boleh makan disini?"tanya Raihan padaku.

"Bukan begitu nak Raihan, Raya hanya bercanda jangan diambil hati. Ayok masuk,"

Kami bertiga pun masuk ke dalam rumah.

Selesai makan malam kami semua menuju ruang keluarga untuk bercerita-cerita sambil menonton tv. Aku hanya sibuk dengan ponselku tidak memperdulikan kedua orang tuaku yang sedang berbicara dengan tante Rena dan Om Romi. Hanya saja Raihan tidak henti-hentinya mengajakku berbicara walau aku sering tidak memperdulikannya.






*****


Next ya
Maaf typo

RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang