prolog

297 43 28
                                    

Semua anak memimpikan kehidupan yang harmonis dan penuh kasih sayang, rumah yang menjadikannya tujuan untuk pulang. Bukan rumah yang di dalamnya berisi teriakan dan makian penuh luka.

Menurutku, semua anak berhak bahagia, meskipun harus membunuh penyebab derita yang membuatnya sulit merangkak ke arah bahagia.

Aku Senja. Penyambut hangat, pengantar perpisahan.

Aku salah satu dari milyaran anak yang memimpikan kerharmonisan dalam keluarga. Percayalah, jika hari ini kamu masih bisa bergurau dan tertawa hangat dengan keluarga, aku di sini tengah memimpikan hal itu.

Dengan cepat, takdir merenggutnya dariku. Merenggut semua tawa, cerita, bahkan bahagia.

Hampir setiap hari telingaku dipenuhi ujaran kebencian dan suara pukulan, bahkan terkadang suara barang-barang pecah. Seperti sebuah neraka dalam kehidupan. Namun, fakta yang membuatku merasa benar-benar terluka adalah, ibuku 'lah yang menerima perlakuan kasar itu dari suaminya.

Seonggok pria dewasa yang bahkan tidak lebih baik dari binatang liar sekalipun.

Kau tahu? Aku bahkan tidak sudi memanggilnya Ayah.

Suara barang-barang pecah semakin menghantam gendang telingaku.

Namun, apa pun yang terjadi aku harus tetap diam di sudut kamar, sembari memeluk ke dua lutut, dan menggigit bibir dengan kuat agar tangisku tak terdengar menyedihkan. Aku benci mendengar suara tangisku sendiri. Menangis dalam diam memang menyedihkan, bahkan membuatku merasa sesak, namun bukankah itu lebih baik dari pada harus mendengar isak tangis yang seakan meledak diri yang ' cengeng' ini.

"Perempuan tidak berguna, selalu bilang gak punya duit!" Suara tamparan begitu nyaring. Tangan hina itu mulai berani melukai ibuku.

"Kerja yang benar, kalau perlu jual diri biar punya banyak duit!"

Tak ada suara ibu, barang sepatah kata pun. Hanya suara pria brengsek itu yang mendominasi.

Pria brengsek yang tidak berguna, aib keluarga, tempramen, pemabuk, dan pria pertama yang membuatku patah hati. Dia..., ah, rasanya aku malu untuk mengakuinya.

Aku benci keadaan seperti ini. Saat pria brengsek itu pulang, maka rumah akan gaduh dan berantakan. Tak hanya itu, dia juga meminta uang, jika Ibu tak memberinya uang, dia akan memukul Ibu habis-habisan. Sedangkan aku hanya bisa diam di kamar dengan pintu terkunci. menyakitkan. Ibu tidak membiarkan aku keluar, bahkan bersuara pun tidak boleh, saat dia ada di rumah.

Aku ingin memaki dan membunuhnya.

"Dasar jalang sialan!"

Aku semakin menggigit kuat bibirku, hingga setetes cairan kental berwarna merah itu tercecap oleh lidahku.

Aku tak pernah berharap memiliki sosok ayah sepertinya. Dia adalah takdir buruk bagiku dan ibu.

Sayup-sayup terdengar isak tangis ibu dari luar.

Tak ada lagi suara pecahan barang, tamparan, dan makian. Hanya suara ibu yang menyayat hati.

Aku bangkit dari dudukku, menghapus kasar air mata yang terus-terusan mengalir. Aku bergegas membuka kunci pintu.

"Semoga ibu baik-baik saja,"gumamku.

Ternyata Tuhan tidak mengabulkan harapanku.

Di sudut ruang keluarga, ibu begitu lemah bersandar pada dipan kayu tua. Ke dua pipinya membiru dengan air mata yang membasahi sudut bibir, sedikit mengeluarkan darah, dan ke dua mata yang bengkak.

"I-bu."

Hatiku tak kuasa harus melihat ibu terus seperti ini.

Aku segera memeluk tubuh ringkihnya, yang aku yakini telah dipenuhi dengan luka lebam.

"Ibu, tidak apa-apa, percayalah,"ujarnya lemah.

Aku menangis di pelukan ibu.

Jika hari ini kamu masih bisa tertawa, berbagi cerita, dan memeluk ayahmu. Kamu adalah anak yang beruntung, kamu tengah menggenggam apa yang telah lepas dari genggamanku.

Percayalah, aku benci takdirku sendiri dan merutuki jari sialan itu yang telah menciptakan takdir seburuk ini.

☀️☀️☀️

HAMPIR RAMPUNG [ OnGoing ]Where stories live. Discover now