Chapter 5 : Kematian Pertama

10 6 0
                                    


“Bagaimana lemparanku tadi? Seharusnya dia sudah mati, tapi kau menghalangi kematiannya! Kau harus menggantikan kematiannya, eh apa keduanya saja ya?” Terdengar ocehan pria tersebut.

Pria itu berbadan besar, ototnya pun menghiasi lengannya. Dia nampak seperti algojo ganas yang haus akan pembunuhan. Menakutkan. Di belakang dia juga ada seorang pencuri kecil yang tadi mencuri ikat rambut Lucy. Dia berambut putih, tubuhnya kecil, giginya berigi, sekilas dia seperti goblin namun dalam bentuk seorang gadis kecil. Sepertinya mereka sengaja memancing kami untuk pergi ke gang kecil ini.

“Siapa kau? Apa maumu? Kembalikan ikat rambutku!” teriak Lucy.

Pria itu menanggapi teriakan Lucy dengan senyuman yang penuh kenakalan. Sedangkan gadis kecil itu hanya tertawa kecil di balik tubuh besar pria itu–bukan seorang pria, melainkan seorang algojo.

“Hei Lucy, sebaiknya kita pergi dari sini. Relakan ikat rambutmu,” ujarku kepada Lucy.

Namun dia tidak mendengarkanku. Sepertinya dia keras kepala, mungkin karena dia tidak memakai ikat rambutnya. Tapi, apakah dia benar-benar lupa dengan kejadian di mall itu?

“Apa kau bilang! Panggil aku putri Lucy! Kau tak pantas memanggilku dengan sebutan Lucy saja,” jawab Lucy sambil menampar wajahku, “jika kau bukan pencuri, maka ambil ikat rambutku dari mereka! Ini perintah seorang putri, jangan dibantah ataupun dilanggar.”

Sepertinya dia benar-benar lupa denganku dan juga lupa dengan kejadian di mall sebelumnya. Tapi apakah aku harus membuktikan kepadanya jika aku bukan seorang pencuri? Mereka benar-benar menakutkan, aku takut jika aku dibunuh oleh mereka. Tapi aku juga tak ingin senyuman manis Lucy tak lagi menghiasi bibirnya. Demi Lucy, aku akan mengambil kembali ikat rambutnya.

“Hei kalian! Kembalikan ikat rambutnya! Jangan sampai aku mengamuk di sini!” teriakku sok pemberani di depan Lucy.

“Memangnya kalian berdua tak tahu siapa kami yang sebenarnya? Lagi pula tubuh kecilmu tak mungkin bisa mengalahkan kami. Raut wajahmu juga menunjukkan bahwa sebenarnya kau berpura-pura berani padahal yang sebenarnya kamu itu sedang ketakutan,” jawab si gadis kecil itu yang perlahan berjalan ke depan. Sekarang dia tidak lagi berada di belakang pria besar–lebih tepatnya algojo pembunuh.

Seketika nyaliku hilang begitu saja. Perasaanku kini mulai tidak mengenakkan, sepertinya kali ini aku akan game over. Tapi aku sudah berjanji kepada Lucy jika aku bukan pencuri. Baiklah aku akan berusaha sekuat tenaga.

Aku kemudian mengambil pisau yang tadi mengarah ke Lucy. Terdapat bercak darah dari goresan sikuku. Akan kuganti luka di sikuku dengan mengalahkan mereka berdua–jika tidak bisa mengalahkan mereka, setidaknya aku bisa membunuh gadis kecil itu.

Aku pun bersiap untuk mengincar gadis kecil itu. Telapak tanganku kini telah memegang gagang pisau. Sisi tajam pisau yang kubawa kini telah siap untuk membunuh gadis kecil itu.

“Lucy berdirilah di belakangku. Tutup matamu, karena setelah ini akan ada seseorang yang dibunuh.” Aku pun berlari ke arah si gadis menyebalkan itu sambil mengarahkan pisau ini tepat di dadanya. "Rasakanlah tusukan ini!"

Braakkk!

Aku terjatuh. Sepertinya terdapat pukulan yang mengarah ke wajahku. Sakit. Pisau yang tadinya kupegang kini telah terpental ke depan. Oh tidak, sepertinya kali ini aku akan dibunuh Algojo itu.

“Dasar bodoh! Kamu itu seharusnya jangan nekat! Dasar otak kopong!” teriak Lucy.

Sepertinya dia khawatir kepadaku. Tapi percuma, aku pasti akan mati kali ini. Kini algojo itu mulai mengambil pisau yang tadi terpental dari tanganku. Senyum penuh kenakalan mulai tergambar di bibirnya.

“Apakah ada kata-kata terakhir bang jago?” cetus gadis kecil itu sambil tertawa.

Aku tidak bisa bergerak, tubuhku seakan menempel dengan tanah. Sepertinya tubuhku telah lemas karena pukulan yang menyakitkan tadi. Algojo itu mulai mendekat. Aku sekarang tidak berdaya.

“Dasar orang sok pemberani, sekarang rasakan ini.” Algojo itu mulai menusukku. Ujung pisau yang tajam kini telah menembus perutku. Air mataku mulai jatuh. Aaa! Sakit. Pisau itu menembus usus-ususku. Rasanya sakit, aku tak bisa mengungkapkannya. Aaa! Kini pisaunya dicabut paksa. Oh tidak dia akan menusukku untuk kedua kalinya.

Tusukkannya tepat di jantungku. Algojo itu mulai menggerakkan pisaunya ke bawah—merobek dadaku. Kini baju tidurku mulai bersimbah darah.

“Rasakanlah kesakitan itu bang jago. Kau pikir kau bisa menusukku? Jangan mimpi ingin menusukku bila masih ada ayahku di samping tubuhku. Bagaimana rasanya? Apakah ada rasa stroberi? Atau rasanya apel? Apa pun rasanya pasti nikmat,” ejek gadis itu.

Pisaunya kini dicabut paksa sekali lagi oleh Algojo yang berdarah dingin itu. Aku tak bisa berkata apa-apa. Mataku mulai buram, sepertinya Lucy adalah target incaran berikutnya. Lucy, maafkan aku, sepertinya aku tak bisa menepati janjiku.

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang