Chapter 10 : Berkorban

2 2 0
                                    

Aku terdiam sejenak. Agak ragu sebenarnya dengan pertolongan pria ini. Entah darimana rasa ragu ini malah muncul. Bagaimana jika nanti aku dimanfaatkan oleh dia?

"Hei, ayo cepat naik! Lama sekali kau!"

Aku tersadar. Menatap pria di atas kuda itu sejenak. Senyumnya terukir. Seakan membuatku agar percaya padanya. Akhirnya aku naik, tak enak juga membiarkan pria ini menunggu.

Hutan benar-benar gelap. Pepohonan besar dan tinggi menjadi pemandangan yang terlihat di mataku. Aku terus mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Hutan adalah salah satu hal yang jarang kulihat selama ini.

"Kau menikmatinya?" Pria itu bertanya.

"Tentu! Aku menyukai hutan ini. Terasa sejuk," jawabku tetap mengedarkan pandangan.

Kuda yang kutunggangi tiba-tiba berhenti. Aku melihat ke depan. Sekumpulan rusa tampak lewat. Aku benar-benar merasakan suasana hutan.

"Ah sial!" Pria ini menghembuskan napas. Seperti kesal.

"Kenapa?" Tanyaku penasaran.

"Butuh tenaga lebih agar kudaku bisa berjalan lagi. Jika sedikit-sedikit berhenti seperti ini, akan ada banyak tenaga yang dikeluakan. Kudaku bisa cepat lelah." Kuda kembali berjalan pelan.

"Kenapa sekarang memelan?" Tanyaku yang masih kurang paham.

"Nah, itu sekarang dia mulai kehabisan tenaga, jadi jalannya pelan."

Aku mulai paham. Kuda juga makhluk hidup. Aku hampir melupakan fakta itu.

"Apa hal yang ingin kamu lakukan selain mengikat kontrak dengan roh?" Dia bertanya.

Aku diam berpikir. "Mungkin sekalian istirahat. Aku cukup lelah."

"Cih lelah apa? Kau nampak sehat begitu. Wajah cerah, irama napas normal, dan bibir tidak tampak pucat."

Ah, aku hampir lupa bahwa pria ini tidak dapat ditipu. Aku merasa ke depannya aku sedikit sulit jika dia bisa mengetahui kebenaran dan kebohongan seperti ini.

"Bukan fisik, tapi batin," ralatku membuat dia mengangguk begitu saja.

"Kudaku bisa mati kalau kita memaksa dia berjalan. Dia sudah cukup lelah." Dia berkata sendu.

"Jadi?" Aku masih belum bisa berpikir.

"Kita biarkan kuda ini makan jika kau mau menunggu. Jika tidak, kau bisa jalan kaki saja."

Aku menghela napas berat. Waktu akan terus berputar. Bisa saja akan terlalu lama jika aku menunggu kuda ini makan. "Aku jalan kaki saja," putusku akhirnya.

Pria itu mengangguk.

"Berapa yang harus kubayar?" Aku bertanya.

"Bayar?" Ekspresinya tampak bingung. Dia lalu tertawa. "Apa-apaan kau ini? Tidak usahlah. Kau tidak perlu membayar apapun untukku."

"Serius?"

"Ya!"

Aku sempat melihat senyumnya. Aku turun dari kereta kuda setelah berpamitan. Sepertinya hari ini memang hari keberuntungan untukku. Ah, andai aku bisa bertemu dengannya lagi dan menjadikannya teman untuk selamanya.

Beberapa kali aku tersandung dengan patahan ranting di tanah. Kakiku juga berdarah di beberapa bagian karena ranting yang lancip. Tidak begitu sakit meski terasa perih.

Keningku mengkerut saat melihat sekumpulan singa sedang makan. Aku tertarik untuk mendekat. Meski tahu ini berbahaya, tapi aku penasaran.

Singa-singa itu membentuk lingkaran, sepertinya ada makanan lezat di tengahnya. Saat aku hendak mendekat lagi, salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Aku ketakutan seketika.

RestartWhere stories live. Discover now