Jambon

1.3K 109 21
                                    

Kau setia bagaikan thistle honey, tersipu dengan manisnya pujian dari dirimu sendiri.

×××

Mark terbangun karena warna merah jambu dan oranye, matahari terbenam mengintip di antara tirai dan melukis golden hour di dinding gelap, rambut gelap Donghyuck menggelitik bibirnya, dengkuran lembutnya, kehangatan yang ia pancarkan ke mana pun tubuh mereka bersentuhan—di mana-mana.

Anehnya, hal itu mengingatkannya pada Vegas, meski tidak sama seluruhnya. Donghyuck merengek dalam tidurnya saat Mark melepaskan diri darinya—ia meringkuk seperti janin untuk mencari lebih banyak kehangatan, merindukan Mark. Mark menarik selimut di atas tubuh telanjangnya, mempertimbangkan untuk membangunkan Donghyuck agar mandi tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Ia mungkin harus pergi begitu Donghyuck sadar sepenuhnya, dan ia belum siap untuk itu.

Mark terhuyung-huyung menuju kamar mandi untuk buang air, kaki terasa seperti jeli, kepala terasa seperti jeli—Donghyuck sialan itu sangat baik, tetap saja, apakah ia sadar atau mabuk, itu selalu membuatnya merasa baik setelahnya—dan setelah membasahi handuk dengan air hangat ia kembali ke kamar tidur utama.

Satu-satunya hal yang bisa ia lihat dari Donghyuck adalah gumpalan di bawah selimut dengan rambut hitam menjuntai keluar. Ia dengan hati-hati berjalan di depan tempat tidur, mempertimbangkan sejenak kemungkinan untuk Donghyuck bangun jika ia mencoba untuk membersihkannya, dan, dalam hal ini, kemungkinan Donghyuck menjadi rewel dan tidak mungkin untuk ditangani secara lembut, pun mengantuk. Itu selalu merupakan kesempatan lima puluh banding lima puluh jika ia mengganggu tidurnya. Saat ia ragu-ragu, ponselnya bergetar. Mark mengangkat telepon tanpa memeriksa nama pemanggil, mengira itu dari kantor. Nyatanya, itu bukan dari atasannya.

"Donghyuck, apa semuanya baik-baik saja?" Mark berkedip, bingung.

"Jaemin?"

Ia memeriksa ponsel dengan cepat dan menyadari itu bukan ponselnya, tapi milik Donghyuck—model iPhone terakhir, yang sama diterima Mark dari perusahaannya untuk panggilan terkait pekerjaan—dan kemudian suara Jaemin terdengar lagi.

"Mark? Apa yang kau lakukan dengan ponsel Donghyuck?"

Mark mengirimkan pandangan khawatir ke gumpalan berbentuk Donghyuck, tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda ia bangun. Mark segera meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya. Ia bersandar pada pintu. Tidak tahu harus berkata apa, tapi ia tahu ini bukan percakapan yang menyenangkan.
"Apa kau masih di sana? Apa-apaan ini, Mark? Di mana Donghyuck?"

"Tidur," jawabnya singkat.

"Kau di mana?"

Ada nada histeris dalam suara Jaemin.

"Rumahku. Bukan, rumah Donghyuck sekarang, kurasa."

"Kenapa kau ada di sana? Kenapa dia tidur? Mark, Mark apa yang kau lakukan kali ini?"

"Aku akan menutup telepon jika kau terus berteriak. Bukan urusanmu kenapa aku di sini dan aku sama sekali tidak berkewajiban memberitahumu, tapi aku akan melakukannya jika kau tenang."
Hening sejenak, diikuti gemerisik gugup. Di kejauhan, Mark mendengar suara lalu lintas.

"Juga tolong beri tahu aku bahwa kau tidak mengalami serangan panik saat mengemudi. Setidaknya menepi jika kau mungkin akan pingsan karena berteriak padaku."

Jaemin mendengkus atas perkataan itu, tapi beberapa saat kemudian Mark mendengar bunyi klik tanda belok dan gumaman mobil saat berhenti. Ia bahkan bisa mendengar Jaemin melepas sabuk pengamannya. Lalu diam, sejenak.

"Aku datang ke sini untuk mendapatkan surat cerai," jelasnya.

"Kenapa kau tidak ke Johnny saja? Tidak ada alasan bagimu untuk pergi ke sana secara langsung."

[Terjemah] PAINT THIS TOWN | Markhyuck ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang