🌙️-ice chocolate

19 1 0
                                    

Hari ini mendung sekali. Khawatir tiba-tiba hujan deras padahal tadi pagi cerah tak ada awan. Ayolah, aku tidak ada payung. Tidak ingin basah kuyup karena aku masih ada keperluan mengurus teater.

Besok adalah hari pagelaran teater ku. Tidak ingin ada yang kurang sedikitpun. Meskipun bukan pementas, tapi aku sangat bangga. Karena aku penanggung jawab pentas kali ini.

Pagelaran itupun menjadi penilaian akhir semesterku ini, selanjutnya aku akan melaksanakan sidang akhir kuliah.

Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya anak seni? Kalau dilihat dari luar sih, enak ya. Pentas kesana kesini, ujian akhir dapat uang saku. Hey, dibalik itu semua, ada perjuangan yang membuat semua orang tercekik, tahu.

Seperti saat ini, Bus terakhir sudah lewat. Dan aku terburu-buru. Butuh tiga puluh menit lagi bus setelahnya datang. Akhirnya kuputuskan berjalan cepat. Hanya sekitar satu kilometer sebenarnya. Tapi karena terburu-buru jadi seperti lama.

Tangan kananku mengeggam setumpuk naskah, tangan kiriku memegang satu cup ice chocolate kesukaanku. Telingaku mendengarkan lagu klasik kesukaanku, Nocturne OP. 9 .

Rasanya hanya ada diriku dijalanan itu, tak elak aku banyak berucap maaf karena menubruk pundak orang-orang yang sedang berjalan.

Hingga dering telfonku terdengar, aku merogoh sling bag ku dengan cepat. Mengutuk handphone ku yang sulit ku raih. Karena fokusku pada tas dengan kaki yang masih berjalan, tanpa sadar seseorang menabrak bahu ku. Naskah ku jatuh berhamburan. Jangan lupakan minumanku yang tumpah diatasnya.

Handphone berhasil ku raih, namun aku terlanjut speechless. Tidak bisa berkata-kata.

"Halo-halo?"

Terdengar suara seseorang di sebrang sana. Otak ku tidak bisa mencerna semuanya.

Sedangkan yang menabraku tidak kalah panik juga.

"Yaampun aku minta maaf! Ah! Sepertinya ini penting semua! Aduh.."

Ia tampak sangat amat panik. Lekas Ia Memunguti kertas naskah ku, membuang cup ice choco ku. Sedangkan aku terdiam.

Saat ia menatap wajahku, tanpa sadar aku menangis. Tanpa suara.

"Aduh, hah bagaimana ini. Maafkan aku. Aku janji akan tanggung jawab, tapi biarkan aku menyelesaikan masalahku dulu. Tolong."

Orang sekitar memerhatikan kami, mereka menganggap aku disakiti orang ini. Lucu sekali. Memang ini salahnya, kan?

Aku stress sekarang.

"Ya!! Kau dimana? Rehearsal sebentar lagi!!"

Oh aku terlupa kalau aku mengangkat sebuah telefon.

"Aku dijalan, sebentar lagi sampai."

Aku jika sudah menangis, pasti suaraku berbeda. Dan itu terdengar jelas.

"YA?! KENAPA KAU MENANGIS?! BERITAHU AKU SIAPA YANG—"

Aku mematikan sambungannya. Memang dasar brother complex. Iya. Dia kembaranku. Laki-laki. Dia kakaknya. Kita hanya beda 5 menit.

"Berisik sekali dia."

Akupun selesai menangis. Menyadari kalau menangis tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Akupun menatap sesorang yang dari tadi menunggu jawabanku.

Aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Dia lebih tinggi dari kakak ku. Rambutnya di cat warna biru. Er—colorful sekali orang ini.

"Ah—tidak apa apa tuan, aku bisa mencetaknya lagi, lagi pula aku buru-buru. Harus pergi. Maaf dan hati-hati bila berjalan."

sweeteensWhere stories live. Discover now