Tiga Puluh Enam

449 39 5
                                    

Gusna's POV

Aku melangkah menuju kamar tidurku, aku seperti mayat mati. Aku tidak lagi merasakan apapun, semuanya terasa redup. Setelah pulang latihan basket dan mendapat kabar bahwa Kantia sudah beralih dari diriku, Tuhan memberiku kejutan yang lainnya. Sepulangnya aku di rumah, ibu memberiku kabar bahwa Ayah dan Ibu telah bercerai, dan sekarang ayah sudah tidak lagi berada di rumah, pakaiannya pun sudah tidak ada lagi di lemari.

Tuhan apa dirimu begitu membenciku?

Dari kamar tidurku yang tidak aku nyalakan lampunya, aku masih bisa mendengar samar-samar suara raungan ibu, ia masih saja tidak berhenti menangis. Perutku mual lagi, aku berlari menuju kamar mandi, lalu memuntahkan isi perutku di kloset. Sakit sekali, perutku terasa seperti diperas, seakan sudah tidak ada lagi isinya.

Aku lalu berbaring, membaringkan tubuhku di lantai kamar mandi yang basah, ku tatap cahaya lampu yang terpasang di langit-langit kamarku.

Aku merasa sudah membenci hidupku, apa aku harus mengakhirinya saja? Pertanyaan itu kerap kali muncul di dalam benakku. Tapi jika sampai ia aku mengakhiri kehidupanku malam ini, besok mungkin aku sudah berada di dalam neraka. Manusia kotor sepertiku mana mungkin pantas untuk di masukkan ke dalam surga.

Aku lalu meringkukkan tubuhku, masih di lantai kamar mandi yang basah. Aku menggigit pergelangan tanganku dengan keras, aku gigit bagian lainnya, aku gigit semua bagian kulit tangaku, sambil meraung mengeluarkan air mata yang selalu tersendat karena ku tahan. Aku menangis sejadi mungkin.

Aku lalu mendudukkan tubuhku, memukul dan menonjok dinding di sekitarku. Pikiranku gelap dan kosong, yang hanya bisa aku rasakan hanyalah sakit dan pengap yang memenuhi rongga dadaku. Segila inikah kehidupanku, segila inikah aku mencintai Kantia, sebobrok inikah keluargaku. Tuhan kemana lagi aku harus pulang, yang sekarang aku punya hanyalah diriku sendiri, diri yang sudah tidak tahu lagi arah tujuan, gelap, dan semua yang aku pijaki terasa berduri.

"Kantia, aku sayang kamu. Aku rindu kamu, aku mohon kembali dan pulang lagi. Jangan tinggalin aku, aku mohon" hanya kalimat itu yang kaluar dari mulutku, yang aku ucap beberapa kali, dan sudah tidak dapat aku hitung lagi jumlahnya. Aku hanya meringkuk di lantai kamar mandi, dengan tangan yang terkoyak dan air mata yang mulai mengering.

Flashback on

Kantia's POV

Tuhan apakah ini adalah pilihan yang paling bodoh yang pernah aku pilih dalam hidupku?

Aku pikir tidak, semoga tidak. Aku tengah memperjuangkan perintahmu, aku tidak salah, semuanya aku lakukan demi kebaikan. Sudah seharusnya seperti ini bukan, ini perihal yang salah, aku harus memperbaikinya. Tetapi mengapa aku sangat tidak tega dengan Gusna, aku merasa begitu bersalah, aku terasa seperti menjadi seseorang yang paling jahat.

Beberapa minggu ini aku menghindarinya, begitupun dia, dan semenjak beberapa bulan yang lalu Arya terlihat menyukaiku. Namun tidak aku respon karena aku mencintai Gusna, aku jauh lebih mencintai Gusna dari siapapun dalam hidupku. Dan kemarin aku menjatuhkan pilihanku kepada Arya, dengan alasan aku ingin memperbaiki segalanya, aku ingin membuka lembaran baru hidupku dengan jauh lebih baik.

Gusna begitu terluka, wajahnya selalu muram, aku tidak tahan aku selalu berusaha memperhatikanya dari kejauhan sambil berusaha jangan samai Gusna mengetahui itu. Matanya sendu, kelabu, dan tidak berwarna. Aku sering menanyakan kabar Gusna lewat Arya, Arya bilang Gusna jarang berbicara dan begitu murung.

Langit sudah gelap, tetapi Gusna masih belum keluar dari persembunyiannya. Aku merindukannya, aku tidak bisa membuang atau memungkiri perasaan itu. Aku rindu senyuman hangat dan guyonan recehnya, aku rindu ketika Gusna bisa bersama-sama dan melakukan segala hal hanya denganku.

The Time [GirlxGirl] (Editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang