E n A m

216 37 3
                                    

Gadis yang tidak pernah bisa diam itu kini duduk mematung di atas ranjang yang terasa empuk dan asing. Baju, pakaian dalam, peralatan mandi, serta barang-barang lainnya— ia tidak dapat menemukannya dimana-mana.

Ia sempat berusaha melarikan diri ke rumah ibunya, namun wanita itu justru menyuruhnya untuk jangan kabur di malam pertama. Amicia sedikit kesal, ibunya berubah dengan cepat padahal sebelum bertemu dengan pria tua itu ia sempat bilang untuk mengupayakan segala cara agar pernikahan itu tidak terjadi. Kini semuanya terlambat.

Digigitnya gaun putih yang ia kenakan frustasi, rasanya ingin berteriak sekarang juga. Ia meremas kuat pinggiran kasurnya sembari menggigit bibir bawah, siapapun yang melihatnya pasti mengira bahwa ia adalah pasien rumah sakit jiwa. Buku-buku jarinya memutih saking kerasnya ia mengerahkan seluruh tenaganya pada busa empuk itu.

Bersamaan dengan suara pintu yang terbuka, tiba-tiba saja pria itu keluar dari kamar mandi dengan bathrobe putihnya yang tidak terbalut rapi. Melihat itu Amicia segera syok dan menunduk dalam— sesekali ia melirik untuk melihat apa yang pria itu lakukan. Ia langsung menutupi wajahnya histeris dengan kedua tangan ketika kain itu terjatuh melewati kakinya. Jantungnya berdegup kencang dan nafasnya memburu, ia baru saja melihat bokong Harry dan ia merasa sangat ketakutan sekarang.

Itu tidak akan terjadi, bukan? Ia sudah menulisnya di surat perjanjian...

Tak lama setelah itu. "Hei."

Amicia mendongak cepat dengan kewaspadaan level tinggi, pria itu sudah berpakaian lengkap dengan kaus putih dan celana pendeknya. "Y-ya?"

Tiba-tiba saja pria itu melempar sebuah kain ke arahnya. Amicia yang terkejut spontan langsung menangkapnya, ia sempat mengelus bahannya yang halus sebelum menggantungkan baju itu di hadapannya. Pipinya memerah, g-gaun tidur? Ia segera menurunkan gaun pendek itu malu. "T-tapi aku sudah biasa memakai piyama..." Ucapnya memelas, seolah pria itu memiliki butik pribadi.

Harry mengambil salah satu selimut yang terlipat di atas kasurnya— membawanya ke sofa yang terdapat di pojok ruangan sebelum ia menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Tenang saja, aku tidak akan bernafsu."

Amicia terbelalak, ia tidak menyangka akan mendapat ejekan yang sedemikian buruk. Ia merasa seperti...tidak dihargai. Itu tidak akan dialaminya kalau saja ia menikah dengan Ashton... Entah mengapa hal itu memicu sedikit rasa sakit hati meski ia tidak mencintai pria di hadapannya.

Dengan langkah gusar ia pergi ke dalam kamar mandi, melepas gaun berat itu sendirian dan melipatnya. Kepalanya tertunduk seraya ia keluar memeluk gaun putihnya.

Pria itu hanya melirik dari sudut matanya, lalu membuang wajahnya tidak tertarik.

Untuk pertama kalinya pria itu membuat Amicia peduli dengan penampilan— dalam artian buruk.

***

Gadis itu tengah tertidur pulas di atas ranjangnya, ia mengerang, suara gesekan kertas di ambang alam bawah sadarnya membuat ia perlahan mengerjapkan mata. Pandangan yang berkabur oleh sisa-sisa mimpi itu mulai terlihat jelas ketika ia menemukan bayangan hitam tengah menulis di atas meja. Ia terkesiap dan langsung duduk dari tidurnya dalam sekejap. Bayangan hitam segera memblokir pandangannya.

"Aww..." Ia memegangi kepalanya.

Pria itu menatapnya dalam diam seperti baru saja melihat orang aneh. Amicia termenung sejenak, ia lalu menarik selimut untuk menutupi pakaiannya.

"Kau apakan aku?!"

Harry menjawab tanpa menoleh. "Bagus, minum berapa gelas kau semalam?"

"Tapi...aku tidak minum apa-apa."

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Where stories live. Discover now