(35)

16.4K 1.2K 10
                                    

Subuhnya gue bangun dan mendapati Mas Arya yang masih tertidur pulas di samping gue kaya sekarang, gue berbalik dan memperhatikan wajah Mas Arya cukup lama, gue mendekat dan mengecup puncak kepala Mas Arya sekilas, kalau boleh jujur, ucpan Mas Arya semalam masih sangat mengganggu gue.

Semalam, setelah selesai beberes, gue turun untuk masak karena balik laper, gue yang memang sedang fokus aslian baget begitu tiba-tiba Mas Arya turun dan melingkarkan lengannya di pinggang gue, sangking kagetnya gue malah gak sengaja sampai numpahin air panas ke kaki gue sendiri, melepuh ya pasti, walaupun gak parah tapi perih masih bisa gue rasain, jalan gue jadi gak nyaman.

Setiap kali Mas Arya ngomong masalah hak ke gue, bohong kalau gue ngomong kalau gue gak ngerti maksudnya apa, kalau gue gal ngerti maksud ucapan Mas Arya itu apa, jantung gue gak akan berdebar kuat cuma karena satu kata itu tapi yang gue permasalahkan sekarang memang ada, ada yang masih mengganjal di hati gue, ini jelas bukan karena Mas Reza karena mengenai Mas Reza gue udah menyelesaikan perasaan gue, ini memang tentang gue sama Mas Arya.

Seberapa keraspun gue nyoba mikir tapi gue belum bisa nemuin alasan pastinya, kenapa gue masih meragu? Kenapa gue seakan masih merasa bersalah? Kenapa? Dan gue merasa bersalah karena siapa? Apa ada yang lain yang mengganjap di hati gue selain masalah Mas Reza tanpa gue sadar?

"Kamu ngelamunin apa Ay?" Tanya Mas Arya yang balik mengusap puncak kepala gue tiba-tiba, Mas Arya membuka matanya perlahan dan menatap gue dengan senyum biasanya.

"Mas udah bangun?" Tanya gue serak khas orang bangun tidur.

"Mas bangun karena ciuman kamu." Yak, gue cuma ngecup keningnya bukan ciuman, bahasanya gak tepat banget, melebih-lebihkan itu.

"Syia cuma ngecup ya Mas bu__"

"Mas tahu." Potong Mas Arya mengabaikan ucapan gue, bukannya merasa bersalah, Mas Arya malah bamgkit dari tidurnya dan langsung berjalan masuk ke kamar mandi, dasar orang tua.

Gue yang mencoba membuang jauh pemikiran gue mengenai perubahan sikap Mas Arya sekarang juga memilih bangkit beberes diri, gue yang berniat turun dari ranjang langsung menyibak selimut yang gue pakai sekarang begitu ngerasa ada yang aneh sama kaki gue, ternyata masih merah walaupun udah gak separah semalam.

Mengabaikan rasa sakit di kaki gue sekarang, gue mencepol asal rambut gue dan beberes terus shalat subuh, selepas shalat gue juga langsung turun ke bawah untuk nyiapin sarapan Mas Arya, begitu selesai baru gue balik naik ke atas untuk manggilin Mas Arya turun sarapan bareng gue, gue membuka pintu kamar perlahan dan malah mendapati Mas Arya yang baru aja keluar dari kamar mandi.

"Kalau udah Mas langsung turun ya, Ayra mau mandi sebentar, Mas sarapan duluan juga gak papa, takutnya Ayra lama." Ucap gue sebelum berlalu masuk ke kamar mandi.

Begitu selesai gue keluar dari kamar mandi dan malah balik kaget begitu mendapati Mas Arya berdiri tepat di depan pintu, Mas Arya ngapain berdiri disini coba? Ngagetin gue tahu gak?

"Mas bisakan gak ngagetin?" Tanya gue mengusap dada.

"Kaki kamu gimana? Masih sakit?" Tanya Mas Arya khawatir begitu memperhatikan langkah gue yang sedikit pincang, gue hanya menggeleng untuk pertanyaan Mas Arya barusan, ini memang udah jauh lebih mendingan.

"Kalau gak sakit, jalan kamu gak akan kaya gitu Ay." Lanjut Mas Arya seolah gak setuju dengan jawaban gue barusan.

"Cuma perih sedikit Mas tapi gak papa, keneran, Mas buruan siap-siap, Ayra udah nyiapin sarapannya Mas di bawah." Gue beneran udah gak papa, kalau merahnya udah hilang tar perihnya juga ngilang sendiri.

"Kita ke klinik dulu." Gue langsung menggeleng cepat, yah ngapain pake harus ke klinik segala, ini cuma merah sama melepuh dikit doang, di kasih salep juga jadi.

"Kamu kalau dibilangin susah banget, sekarang Mas yang dengerin kamu apa kamu yang ngedengerin Mas? Itu kalau melepuhnya kena air makin sakit, kalau kamu sakit siapa yang khawatir? Mas jugakan?" Mas Arya tetap maksa mau ke klinik, mendengarkan pertanyaan Mas Arya gue malah langsung kicep di tempat.

"Nanti siang Mas jemput kamu, kita ke klinik." Ulang Mas Arya yang langsung gue angguki pelan, pasrah gue.

"Mas! Kapan kita ngejemput Lia?" Tanya gue mencoba ganti topik obrolan, seharusnyakan memang kemarin kita ngejemput Lia cuma gak jadi karena Mas Reza yang mendadak ngajak ketemu dan berakhir dengan gue telat pulang ke rumah.

"Minggu depan!" Gue langsung membelalakan mata kaget dengan jawaban Mas Arya, kenapa lama banget? Kenapa harus nunggu minggu depan? Kenapa gak hari ini aja?

"Kenapa harus minggu depan?" Tanya gue gak terima.

"Mas udah sempat ngabarin Mama dan ngasih tahu kalau kita berdua mau honeymoon dan Papa juga setuju." Jawab Mas Arya santai tapi enggak dengan ekspresi gue sekarang, gue lagi-lagi cuma bisa melongo kaget dengan jawaban Mas Arya, kenapa Mas Arya selalu mutusin sesuatu tanpa nanya pendapat gue lebih dulu? Gak dianggep banget.

"Kamu kenapa? Ada yang salah? Maaf Mas gak ngomong sama kamu lebih dulu, kenapa? Karena kalau Mas ngomong lebih dulu kamu pasti bakalan nolak, apa Mas salah?" Tebakan Mas Arya yang sayangnya bener, mana mau gue ninggalin Lia.

"Kenapa Lia gak kita gak ajak sekalian Mas?" Makin rame malah makin seru menurut gue.

"Kalau Lia ikut, kapan Lia punya adiknya?" Gue langsung melotot kaget dengan jawaban Mas Arya, ngegas banget perasaan ni orang tua.

"Mas! Mas pikir kita masih bisa pergi dengan keadaan kaki Ayra yang begini? Mas jangan kebanyakan mikir, yaudah tar siang kita ke klinik dan pulangnya kita jemput Lia, setuju?" Tawar gue ke Mas Arya, kalau Mas Arya setuju, gue juga akan setuju tapi kalau Mas Arya nolak, gue juga bakalan tetap kekeh nolak ajakan Mas Arya ke klinik.

"Kamu mau bikin penawaran sama Mas sekarang? Itu gak akan berhasil Ay kamu tahukan?" Gue mengangguk pelan, ini namanya negosiasi, kalaupun memang harus liburan, gue mau Lia juga ikut.

"Jadi Mas setuju atau enggak?" Ulang gue memperlihatkan kaki gue yang memerah di depan Mas Arya.

"Okey! Nanti sore kita jemput Lia." Mas Arya menatap gue lama sebelum kembali membantu gue berjalan, Mas Arya mapah gue dengan tatapannya yang belum lepas dari gue sama sekali, gue tahu apa yang di pikirkan Mas Arya sekarang.

'Apa yang salah sama gue sebenernya? Gue masih meragu kenapa lagi?' Tanya gue membatin.

Dear Mas Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang