21 - System Overheat

19.3K 2.7K 50
                                    

Lokasi yang kami tuju ternyata berbeda dengan bayanganku. Tadinya kupikir kami akan mengarah kembali ke universitas. Nyatanya Pak Angga membelokkan mobilnya ke kawasan perumahan kemudian berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua berwarna paduan cokelat dan putih gading, terlihat minimalis namun hangat.

Katanya mau mengajakku ke perpus, dimana perpusnya?

"Pak, kita ke perpustakaan, kan?" tanyaku sekedar memastikan.

"Benar."

"Dimana perpusnya?" kepalaku melirik kanan dan kiri memperhatikan kawasan lingkungan tersebut, tak terlihat adanya tanda-tanda bangunan publik. Sepanjang jalan hanya ada rumah hunian berjejer rapi dengan bentuk seragam, seluruhnya tanpa pagar, warna catnya saja yang berbeda.

"Di dalam. Ayo masuk," ajaknya lalu beranjak turun dari mobil.

Pak Angga melangkah ke teras rumah, membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Aku masih berdiri mematung mencoba memahami keadaan. Dimana ini sebenarnya?

"Ayo masuk."

"Ini dimana, Pak?"

Mendadak aku merasa waswas, berbagai macam pikiran buruk mulai melanda kepalaku. Aku gak tahu ini dimana, daerah sekitar juga terlihat sepi. Bersama dengan pria asing, yah walaupun dia dosenku tetap saja dia asing.

Senyum tertahan muncul di bibirnya lengkap dengan binar geli kedua matanya. Mungkin dia menyadari apa yang kupikirkan.

"Ini rumah orang tua saya. Keluarga saya ada di dalam, jadi tidak usah takut. Ayo masuk," ucapnya sambil membuka pintu lebar-lebar.

Dengan segenap keberanian dan rasa percaya yang kupunya, kulangkahkan kaki memasuki rumah. Ternyata tampak dalamnya jauh lebih luas dibandingkan yang terlihat dari depan, tata letak perabotan yang apik dan warna-warna pastel mendominasi. Terlihat simple namun elegan.

"Tumben pulang cepat, Mas?" sahut seorang wanita yang muncul dari arah dapur, matanya membulat sesaat ketika menyadari kehadiranku.

"Eh eh eh ... siapa nih?" tanyanya ke Pak Angga dengan nada selidik penuh godaan namun pandangannya terpaku padaku.

Wanita ini terlihat masih muda, mungkin umurnya hanya beberapa tahun di atasku. Penampilannya sederhana dengan senyum ceria melekat di wajahnya, membuatnya terlihat cantik sekaligus ramah.

"Hana, kenalin ini – "

"Namanya Hana?" sela wanita itu sebelum pak Angga menyelesaikan kalimatnya.

"Saya Raihana, mahasiswa pak Angga, Mbak ..."

"Panggil aja Andin," balasnya dengan senyum ramah. "Ohh... mahasiswa." Kepalanya mengangguk tapi matanya menyiratkan beribu pertanyaan.

Sebelum Mbak Andin sempat kembali melayangkan pertanyaan pak Angga buru-buru menghelaku menuju bagian dalam rumahnya, hingga akhirnya kami tiba di ujung lorong yang menghubungkan ruang keluarga dan taman belakang. Di lorong itu terdapat satu pintu cukup besar. Pak Angga mendorong pintunya hingga terbuka dan mempersilakanku masuk.

Jika tadi aku sempat meragukannya, maka sepertinya aku salah besar. Inilah perpustakaan yang dimaksudnya. Ruangan ini cukup luas, mungkin dua kali lebih besar dibandingkan ruang tamu yang barusan kulewati. Tiga sisinya dijejeri rak buku tinggi menjulang hingga langit-langit, sementara satu sisi dinding lainnya dibiarkan terbuka dengan dinding kaca transparan. Membuatnya begitu terang benderang dengan cahaya matahari yang tumpah ruah di ujung sisi.

Sofa yang terlihat nyaman dan empuk tersedia di pojokan, ukurannya tidak terlalu panjang mungkin hanya cukup untuk satu orang selonjoran. Pak Angga menarik lapisan gorden tipis menutupi dinding kaca, menghalangi sebagian sinar matahari masuk.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang