Kepada Bumi, Aku Bercerita

481 117 132
                                    

Laki-laki itu Bumi, yang bermata terang dan senyum cemerlang. Aku bersimpuh mengadu, pada Sang Pencipta akan keelokannya. Keelokan yang Ia titipkan untuk Sang Bumi.

Aku memejamkan mataku bersamaan dengan buku bersampul pink glitter yang kututup seketika. Astaga! Sekarang pipiku memanas dan bibirku tidak bisa berhenti berkedut! Keterlaluan novel ini, sudah sampulnya warna kesukaanku, sekarang dia mau buat aku jerit-jerit sendiri? Ampun. Tapi, ini memang keterlaluan, sih, karena selain merona tidak jelas, sekarang aku juga harus sekuat tenaga menahan pekikan agar tidak sampai kedengaran ibu. Gawat nanti kalau kedengaran. Bisa-bisa aku jadi bahan ceng-cengan lagi selama seminggu penuh karena ketahuan histeris sendiri di kamar. Mana temannya cuma buku, lagi. Si jomblo Alin yang bersahabat dengan buku sampai lupa caranya merona dengan manusia betulan. Miris sekali topik obrolan ibu tentang kelakuanku.

Pada akhirnya, hanya helaan napas yang terdengar di sela-sela blushing.

Kembali lagi ke novel baper sialan ini, sebenarnya ceritanya klise alias sudah khasnya novel terbitan yang terlalu cepat terbit, tapi aku suka. Atau kebetulan suka saja? Ah, entahlah. Pokoknya cuma tentang cewek lugu yang agak 'bego' dan cowok rebel yang suka julid (diamlah soal seleraku). Seharusnya begitu. Yang jelas soal tadi, aku sudah berkali-kali kembali ke adegan itu, tapi tetap saja hatiku selalu dibuat meletup saat membaca part-nya. Seperti tiba-tiba kehilangan cara untuk bernapas, tapi kena serangan overdosis nyengir.

Aku mencintai mereka yang seperti ini, ketika Adeline dan Nathan bersama. Ah, entahlah aku tidak tahu. Kalau saja penulis lebih membuat Nathan hangat, pasti aku sudah meminta dihadiahkan manusia seperti itu jika mendapati bintang jatuh.

Iya, kalau saja.

Meski, aku tahu paling adegan berikutnya akan berganti dan meski mereka hanya sementara dengan suasana seperti itu. Namun, aku benar-benar menyukainya. Jauh lebih menyukai dibanding Adeline bersama pemeran utamanya.

Itulah kekesalan tidak bersolusiku.

Aku membuka kembali mataku, merenung. Novel yang belum selesai kubaca itu kubiarkan terbuka. Aku merebahkan diriku di sampingnya. Langit-langit kamar yang pucat kulihat sebagai gambaran langit biru bermandikan sinar matahari yang cerah. Burung-burung mencicit dengan nada yang bahagia. Lalu kasur lantai sekejap berubah menjadi padang rumput yang harum. Sekitarku menjelma dunia dongeng yang selalu kuinginkan.

Detik-detik paling menyenangkan ketika membayangkan suaranya datang kepadaku. Membisikkan kata-kata cinta dengan cara yang tak biasa.

Aku mencintaimu sedalam-dalamnya.

Seandainya dunia yang kulalui bisa seindah bayanganku ini.

Sampai suara jangkrik yang maha menyebalkan datang di tengah acara. Aku menghela seraya bangun dari peraduan imajinasiku, menatap novel itu lamat-lamat. Novel yang baru kubeli dengan uang tabungan yang kukumpulkan dengan susah payah. Namun, agaknya penulis itu juga belum bisa memenuhi keinginanku.

Tik!

Benar juga.

Aku bangkit segera dari rebahanku. Meraih notebook dan tiga pulpen sekaligus. Persetan dengan kelebihan pulpen, imajinasi ini bisa-bisa menguap kalau tidak segera kuabadikan.

Imajinasi tentang hal-hal yang tidak kudapatkan dari orang lain.

Imajinasiku sendiri. Ini aneh, tapi kenapa harus mengandalkan orang lain jika bisa membuat keinginan sendiri?

Kata pertama tertulis. Kedua, ketiga sampai satu paragraf selesai kuabadikan dalam satu lembar kertas yang masih polos. Sepolos ide, pengetahuan kepenulisanku, dan semangat tidak jelas yang menggelora dalam diriku.

-Terlebih saat jemarinya merangsek ke dalam helai rambut gadis itu.

Aku hanya tahu kata merangsek lebih keren daripada hanya jika menggunakan kata membelai. Seketika aku merasa kalau aku sudah cocok menjadi penulis. Sekarang kalimat dalam novel yang asli berubah karena ide polosku.

Aku tersenyum lebar. Pipiku makin menghangat dan letupan hatiku menjelma ledakan penuh bunga. Sesuatu dalam diriku bergejolak seiring kata demi kata tertulis di atas kertas putih itu. Mataku berbinar. Kalau saja aku sedang berada di dunia komik, pastilah mataku sudah penuh gambar bintang norak dengan bumbungan api merah yang berkilat.

Novelnya kujadikan sebagai alas menulis dan aku tidak sadar kalau aku terlalu larut dalam setiap cerita yang kubayangkan sampai tengah malam menyambut. Dengan selimut pink yang hanya bertengger di ujung kaki, buku-buku romansa yang berceceran, kamar semi kapal pecah, dan harapan dalam untaian mimpi yang kepalang indah.

Tanpa apa pun lagi. Hanya bermandikan bayangan dan kilau-kilau imajinasi, aku serasa hidup di dalamnya.

Bersambung.

a/n :

Hai!

Agar kalian tidak bingung, dalam naskah ini terdapat pergantian narasi, ya. Seperti yang pertama kalian baca, itu adalah narasi dalam novel yang Alin baca. Setelahnya adalah narasi yang ada di dunia Alin. Di mana dia sedang membaca buku dan jatuh cinta dengan sebuah novel romansa.

Tapi, dia kurang puas sama cerita dari novel itu, tuh?

Terus dia nulis sendiri ceritanya? Nggak pakai pengetahuan lebih dulu dan hanya modal semangat membara?

Oh, dan imajinasi.

Lalu, apa yang ia tulis untuk meredam kekecewaannya?

Mungkin lebih baik kita baca di halaman selanjutnya ini.

25 Oktober 22
Kapikapisa

The Pink DiaryWhere stories live. Discover now