11: Perih

441 59 2
                                    

Kahvi tidak pernah tahu bahwa hamparan langit biru 'kan menjadi kawan terbaiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kahvi tidak pernah tahu bahwa hamparan langit biru 'kan menjadi kawan terbaiknya. Kumpulan awan putih turut membebaskan alam pikirnya 'tuk berimajinasi. Berbagai macam bentuk ia munculkan, mulai dari kereta kuda, bianglala, mobil mainan, hingga ... dirinya sendiri.

Anak itu mendengkus. Ia lekas menggeleng dan memejamkan mata. Ludahnya tertelan kasar kala dahi berkerut cukup lama. Melihat tubuh ringkih di pembaringan selalu membuatnya muak. Mengapa bayangan itu harus datang?

Semilir angin yang membawa kesejukan menembus kulit hingga bergidik. Terik pagi hari yang belum seberapa panas menjadi alasan keberadaannya di tempat ini. Kahvi tak lagi peduli dengan sensasi menggelitik dari rumput-rumput. Sudah menjadi risiko bila ia memilih terlentang tanpa alas di taman belakang sekolah.

Tiba-tiba, anak itu tersenyum. Ia tidak pernah menyangka kata 'bolos' masuk dengan mudah ke kamus kehidupannya. Kahvi berdecak heran hingga menyeringai lebar. Ia benar-benar melewatkan keseruan ini sepanjang tahun.

Siapa yang tahu bahwa absen dari pelajaran teramat mengasyikkan? Dan siapa yang tahu ... dalang di balik keberaniannya kali ini?

Dirimu tak pernah menyadari semua yang telah kau miliki

Kahvi tersentak tanpa membuka mata. Tubuhnya menegang kala alunan musik bervolume sedang masuk tanpa permisi ke gendang telinganya. Jarak yang begitu dekat membuat bulu kuduk pun lekas berdiri.

Kau buang aku tinggalkan diriku. Kau hancurkan aku seakan 'ku tak pernah ada

Anak yang 'tlah melepas kacamata itu masih memenjarakan suaranya. Ia kembali menelan ludah kala hatinya berdebar tak karuan. Relungnya terlalu takut 'tuk melihat sosok yang dipastikan tengah duduk dengan manis di sampingnya.

"Aku 'kan bertahan, meski tak 'kan mungkin menerjang kisahnya, walau perih ... walau perih."

Sosok yang datang tanpa aba-aba itu membuka mulut. Kahvi lekas terbelalak dan mendongak guna memastikan rasa takut yang menggelut.

Firasatnya tidak pernah salah. Suara yang berusaha ia hindari itu dengan sendu mengikuti setiap lirik yang tersuguh. Namun, aura yang tersaji sungguh teduh hingga mampu menurunkan segala kerut dan amarah yang menggunung di ubun-ubun.

Gadis itu memandang pepohonan dengan tatapan hampa. Mulutnya menggumam dengan kepala bergoyang pelan ke kiri dan kanan. Jari-jarinya dengan asyik mengetuk-ngetuk rerumputan.

"Salahkah ... aku terlalu--"

"Lo ngapain di sini?" potong Kahvi dengan cepat.

Anak itu lekas mengambil ponsel yang ada di sampingnya dan tanpa basa-basi lekas mematikan lagu 'perih' dari Vierra. Ia bangkit lalu menatap gadis yang juga menatapnya tanpa jeda. Keduanya beradu dalam hening sebab lantunan pemecah canggung telah dihentikan secara sepihak.

Rahvitale ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang