13: Sebuah Tanya

310 50 4
                                    

"Gimana sekolah barumu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana sekolah barumu?"

Bayu melirik putranya sembari menyantap olahan daging buatan asisten rumah tangga mereka. Setelah sekian lama absen dari meja makan, kalimat itulah yang pertama kali ia lontarkan. Dengan sabar ia menunggu jawaban anak yang masih mengaduk sayurnya tersebut.

Kahvi tetap setia menatap santapan superhambar di pinggan favoritnya. Tidak ada bakso dan sosis seperti milik Bayu dan Nirma, hanya sayur bening dengan dua potong tahu rebus. Sejak kecil, ia selalu mendapat menu yang berbeda dari orang tuanya.

"Vi?" panggil Nirma.

Anak itu menggeleng dan mengangkat kepala. "Iya, Tante?"

"Ayah nanya, gimana sekolahnya? Lancar, kan?"

Kahvi menelan ludah. Tangan yang bersiap menyuap sesendok nasi itu lekas turun dan terkulai. Matanya berkedip cepat sampai kakinya mengentak-entak. Ia meremas pahanya yang tak bisa diam dengan kuat.

'Lancar' belum sempat terbersit di pikiran Kahvi. Kata tersebut terlalu multitafsir hingga ia lelah menebak arah mana yang sedang dibicarakan. Baik Bayu maupun Nirma terlalu sering berada di luar jangkauannya.

Sampai detik ini, Kahvi tidak pernah terlibat dalam kegaduhan kelas. Tidak ada seorang pula yang mengajaknya bicara, selain Rara. Ia pun diam, tak pernah maju lebih dulu dan memilih mengasingkan diri di perpustakaan atau taman belakang sekolah.

"Emm … lan--"

"Udah kenalan sama yang juara satu, belum? Dia pintar di bagian apa?"

Kan, Kahvi membatin. Seharusnya ia menduga akan pertanyaan tersebut. Anak itu lantas terkikik di dalam hati, mengapa merepotkan diri dengan memikirkan pergaulannya di kelas? Memang sejak kapan ayahnya peduli?

Senyum tipis anak semata wayang itu perlahan muncul diiringi gelengan yang pelan. Betapa bodohnya ia karena sempat mengira sang ayah telah berubah. Kahvi kembali menyantap makan malamnya tanpa menjawab pertanyaan dari Bayu.

"Vi?" Sadar akan keheningan yang menyapa, Nirma kembali memanggil anak tirinya itu. Bahkan kini ia mengusap punggung tangan Kahvi dengan lembut.

Anak itu dengan cepat menarik tangannya lalu menatap piring lamat-lamat. "Be-belum, Yah."

"Pasti kamu pasif kan di kelas? Jarang ngobrol sama teman-temanmu, iya 'kan?" tebak Bayu tepat sasaran.

Belum sempat mengangguk, aksi Kahvi disela begitu saja dengan kalimat baru dari Bayu. "Ayah tau Kahvi anak yang pinter, semuanya bisa sendiri. Tapi tetap, kudu nyari temen … seenggaknya yang bisa diajak belajar bareng."

Rahvitale ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang