3: Closer

926 178 7
                                    

"Sekolah yang benar, dan selalu pakai mantelmu. Udara diluar masih lumayan dingin." Bunda Yang tersenyum hangat. Jemari lentik milik wanita berusia 40 tahun itu mengusak surai hitam anaknya.

Si manis yang dibalut dengan coat panjang berwarna hitam itu tersenyum lebar seraya menyerukan kata 'Ung!' sekali disertai anggukan. Kemudian ia mengecup pipi Bundanya, mengucapkan 'Aku pergi Bunda.' dengan nada yang ceria.

Satu minggu belakangan mood Jeongin terbilang cukup baik. Mendengar berita bahwa Ayahnya akan kembali dari Busan setelah menyelesaikan proyek jangka pendek saat itu mampu menghilangkan separuh beban stress yang Jeongin alami akibat tugas sekolah yang tak kunjung usai.

Dan juga ada Felix yang sudah 3 hari belakangan mentraktirnya makanan gratis di cafe yang berbeda. Saat ditanya alasannya kenapa, Felix bilang bahwa itu adalah pajak jadian yang harus dia bayar karena si manis keturunan Aussie itu sudah melepas masa jomblo. Iya, Felix berpacaran dengan kakak kelas yang Jeongin ketahui bernama Changbin.

Sekali lagi terimakasih untuk sang Ayah dan juga Felix yang secara tidak langsung berperan dalam memerangi harinya yang buruk.

Oke, lupakan tentang hari yang buruk. Saat ini Jeongin tengah memandangi sang sahabat, Felix dari kejauhan. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kala melihat kakak kelas yang menjabat sebagai pacar dari sahabatnya itu tengah menggandeng tangan kecil Felix.

Jeongin ikut bahagia meski dirinya agak kecewa karena nyaris setiap pagi ia dan Felix akan masuk kelas bersama, namun mulai hari ini dia harus terbiasa berjalan sendiri. Agak aneh rasanya kalau selama perjalanan ke kelas tidak ada teman yang bisa diajak bicara.

Biasanya Jeongin dan Felix akan saling bertukar cerita tentang film apa saja yang sekiranya menarik untuk ditonton, atau kue baru di cafe langganan mereka. Tapi Jeongin tak ambil pusing, toh berjalan sendirian tidak buruk juga.

Seperti biasa, kelasnya ricuh. Padahal nyaris 50% penghuni kelas adalah anak-anak berotak jenius. Tapi keseharian mereka tak lebih seperti bocah-bocah hiperaktif kelebihan energi.

Satu-satunya yang menjadi alasan kenapa kelas Jeongin masih dipertahankan eksistensinya adalah karena otak penghuninya yang encer, jika tidak mungkin saja kelas itu sudah dirombak ulang atau diasingkan dari dulu.

Kebetulan guru yang mengajar sedang tidak masuk hari ini. Terang saja semua yang ada di kelas bersorak dan memulai aksi ribut mereka. Sebagian siswa bahkan ada yang sampai melepas seragam dan memutar-mutarnya diatas kepala.

Hanya segelintir siswa siswi pendiam yang masing tenang duduk di meja, tak terkecuali sosok pucat yang yeah, kalau boleh jujur sudah menarik atensi Jeongin. Entah sejak kapan ia tak menyadarinya, tapi semenjak pria itu menyelamatkannya dari tragedi bola lampu, Jeongin jadi merasa harus berteman dengan pria itu.

Bukannya sok cari muka, Jeongin hanya menaruh empati pada pria Hwang tersebut. Banyak bulan pria itu menjadi bagian dari kelas mereka, tapi tak seorangpun juga berhasil setidaknya ia jadikan teman ngobrol.

Hyunjin itu benar-benar misterius dan tertutup, pantas saja tak ada yang berani mendekat. Jadi Jeongin dengan segala kenekatannya memutuskan untuk mencoba mengajak pria tampan itu berteman, hitung-hitung balas budi karena Hyunjin sudah menyelamatkannya.

"Jeongin, kantin?"

Itu suara Felix. Si manis Aussie yang tengah merangkul pundak Jisung, sahabat Jeongin yang saat ini juga menatap penuh harap kearahnya.

"Maaf Felix, Jeongin bawa bekal."

"Oh." Felix terlihat mendengus kecewa, namun sedetik setelahnya wajah itu tersenyum cerah lagi, "Okay. Mau titip sesuatu?"

YOUR BLOOD • HyunJeong ✔Where stories live. Discover now