❝ Lihat, imut kan ❞

756 137 20
                                    

Nafasku berderu cepat seiring dengan langkah yang lebar. Aku tidak mengerti kenapa aku seperti ini, aku merasa terkhianti. Walau memang belum pernah aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya kepada Jaehyun tapi aku juga ingin dihargai.

Aku kira dengan setiap saat bersamanya dapat membuat bayang - bayang pacaran dalam benak Jaehyun menjadi samar.

Tanpa kusadari wajahku sudah memerah, aku menahan marah hingga air mataku menggenang dengan sendirinya.

Kini aku telah tiba di depan pintu tempat Jaehyun berada. Ruang siaran radio. Dia bilang dia sedang belajar di sana.

Jaehyun menyadari keberadaanku. Pria itu menatap tubuhku yang mulai mendekatinya dengan pandangan hangat.

" Kau berpacaran dengan siapa? " tanyaku langsung pada pria yang tengah duduk dikursi seraya memegang kertas dialognya.

" Kau sudah mendengar kabar itu? "

Aku terkejut, jadi ini benar? Oh sialan sekali.

Kepalaku mengangguk pelan, tiba - tiba rasa marahku padam dengan sendirinya. Aku menjadi biru; sedih, kepalaku menunduk. Bersyukur hari ini aku mengenakan poni oleh karena itu mata merahku dapat tidak terlihat sangat jelas.

" Aku rasa kau tidak membutuhkanku lagi, peran sahabat dan kekasih itu hampir sama. Yang beda hanya perasaan yang menyatukan mereka. " ujarku menahan tangis.

Jaehyun hanya diam seraya memandangiku. Aku merasa malu sudah menjadi pusat perhatian di ruang tersebut. Aku berbalik, melangkah tanpa pamit meninggalkan semua orang di sana tanpa sepatah kata.

Aku memasuki kamar mandi, membasuh wajahku yang sudah memerah dengan air dingin. Menatap pantulan diri di kaca. " Dasar bodoh. " kataku pada diri sendiri.

Pasti membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan rasa ini. Rasa yang sudah tumbuh dibalik kata pertemanan. Aku tahu aku tidak memiliki hak sepenuhnya dengan siapa Jaehyun nanti berpasangan. Namun aku tidak mengira akan secepat ini.

Aku sudah ada ditengah semester. Terhitung dua tahun rasa ini aku biarkan berkembang. " Hah sialan.. " aku mengumpat kemudian berlenggang pergi keluar dari kamar mandi. Perasaanku memburuk tiba - tiba. Untuk kali ini langkahku terasa sangat sunyi dan berat.

Aku tidak memiliki siapapun kecuali diriku sendiri yang mau menanggung semua apa rasakan dan perbuat. Bila hidup bersistem seperti game, aku pastikan aku ingin merestartnya, mengulang semua dari awal dan tidak melakukan kesalahan yang sama.

•••

Menjauh itu bukan kemauanku. Tapi aku hanya melakukan apa yang otakku inginkan. Beberapa kali Jaehyun bertanya mengapa aku menjauh darinya, bahkan ketika Jaehyun melakukan siaran radio pertamanya aku tidak menemani atau menunggunya di luar ruangan.

Otakku berkata tidak perlu, karena pasti Jaehyun memiliki kekasih yang bisa menemaninya kapan saja. Tapi hatiku berkata untuk kembali kepadanya, mematahkan seluruh ego dan mengubur dalam - dalam perasaan cinta dan hadir disisi Jaehyun lagi sebagai sahabat yang mendukung apapun keputusannya.

Tapi sepertinya aku sahabat yang buruk. Aku menyerah dengan cepat, urusan hati tidak bisa dipaksa. Jadi aku mengikuti pikiran rasionalku walau caraku dengan menjauh itu salah.

" Taeyong, aku membeli ini untukmu kemarin. "

Sebuah kotak bewarna putih diletakan dihadapanku. Saat aku mendongak, ternyata itu Jaehyun. Sorot matanya nampak sedih, " Tidurmu tidak nyenyak ya? Kantong matamu tercetak jelas, sudah lama aku perhatikan. "

Kalopsia ⚝ Jaeyong ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang