18-We Meet

100 32 8
                                    

Bengkulu siang ini sangat panas. Sebelum pulang ke rumah, Sesya memutuskan untuk mampir dulu ke salah satu swalayan kecil di dekat sekolah untuk membeli minuman dan beristirahat sebentar di bangku panjang depan di depannya untuk berteduh.

Kedua tungkai jangkung milik Sesya melangkah masuk ke dalam swalayan lalu langsung menuju lemari pendingin untuk mengambil sebotol jus jeruk berukuran sedang. Setelah itu ia segera membayarnya ke kasir. Namun, …

“Sesya?"

Bola mata Sesya membulat lebar kala mendapati Dana berdiri di meja kasir dengan rompi bewarna army melekat di tubuhnya.

“Kak Dana? Kak Dana ngapain di sini?” tanya Sesya dengan dahi mengerut.

Dana terkekeh geli. “Aku lagi gantiin ayahku, Sya.”

“Ayah? Oh, paman yang punya swalayan ini ayahnya Kak Dana?” tanya Sesya lagi.

“Iya, Sya. Hm, mau duduk dulu di luar?” tawar Dana.

Dengan berat hati Sesya menganggukkan kepala. Apalagi setelah kejadian beberapa hari lalu yang hampir saja menghilangkan nyawa. Mereka berdua akhirnya keluar dan duduk berdampingan di atas bangku panjang yang memang tersedia di depan swalayan.

“Kamu apa kabar, Sya?”

“Baik. Kak Dana sendiri gimana?”

Dana mengulum senyum tipis. “Aku agak sibuk di swalayan karena ayahku sedang balik kampung."

Sesya manggut-manggut paham. Dana lalu menatapnya lekat. "Omong-omong kenapa kamu menghindar dariku, Sya?”

“Hah? Enggak kok,” bantah Sesya seraya menggelengkan kepala cepat.

“Jangan bohong, Sya. Kamu tuh keliatan banget ngehindarin aku. Apa aku ada salah sama kamu?”

Yang salah itu aku karena jatuh cinta sama kamu.

“Enggak kok, Kak. Itu perasaan kakak doang, aku biasa aja kok.”

Dana tersenyum lalu mengusap puncak kepala Sesya pelan. “Jangan menghindar lagi, ya. Aku minta maaf kalau ada salah sama kamu.”

Sesya hanya melempar senyum canggung kepada Dana. Sejujurnya ia bingung harus bersikap bagaimana kepada bintang Mageia ini.

Di satu sisi masih terselip rasa sayang, tetapi di satu sisi lagi ia mulai merasa takut pada Arel dan bagian yang paling parah adalah Dana hanya menganggapnya sebagai seorang adik saja. Tidak lebih.

“Minggu nanti aku ke rumahmu lagi. Boleh?”

“Buat apa, Kak?”

“Aku mau kembalikan buku yang kemarin itu aku pinjam darimu.”

Untuk sekian detik Sesya terdiam, berusaha memikirkan alasan untuk menolak Dana.

Namun, ia harus bagaimana? Dana terlalu baik untuk ditolak. Ia merasa tidak enak meskipun ia sendiri takut kepada Arel dan takut akan semakin jatuh terperangkap dalam perasaannya sendiri.

“Sya,” panggil Dana.

“Eh? Iya, Kak?”

“Boleh? Itu pun kalau kamu gak sibuk dan gak ada janji, tapi kalau kamu sibuk atau ada janji lain gak papa kok.”

“Boleh kok, Kak.”

Seulas garis muncul di wajah Dana. “Terima kasih, Sya,” ucapnya yang hanya dibalas senyuman oleh Sesya.

Tuhan, semoga semuanya akan baik-baik aja.

*

**

Hampir dua puluh menit berbincang-bincang sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang bertiup, lelaki jangkung itu pamit untuk kembali bekerja karena ada beberapa pembeli yang datang. Sedangkan Sesya masih duduk di sana. Matahari masih bersinar terik, membuatnya malas pulang ke rumah.

Saat sedang asyik memainkan kakinya ke tanah, tiba-tiba bola matanya menangkap sesosok lelaki dengan rahang wajah berbentuk square yang tampak tidak asing masuk ke dalam swalayan. Sontak Sesya langsung mengekori lelaki itu masuk.

Filo?

Atau ...

Edo?

Sesya terus memperhatikan lelaki itu yang sedang mengambil beberapa kaleng minuman soda dan memasukkannya ke dalam keranjang biru di tangan.

Atensi Sesya beralih ke telinga lelaki itu yang dipenuhi banyak tindikan. Ia terus memperhatikannya dari ujung lorong sampai lelaki itu akhirnya menyadari keberadaan Sesya.

Ia mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa? Ada perlu apa?”

“Hah? Si-siapa?” tanya Sesya gelagapan.

“Kamulah. Siapa lagi. Mau tanda tanganku?”

“Eh? Enggak-enggak.” Sesya menggelengkan kepala. “Aku mau ng … salaman aja, boleh?”

Lelaki itu terdiam sejenak sebelum mengulurkan tangannya. “Siapa namamu?”

“Sesya Ornella, kamu bisa panggil aku Sesya,” ucap Sesya sambil menjabat uluran tangan lelaki itu. “Namamu siapa?”

Bukannya menjawab, lelaki itu malah tertawa renyah. “Kamu bukan penggemar aku, ya? Aku kirain penggemarku karena lihatin aku terus.”

Sesya sontak menggeleng. Ia sama sekali tidak menyukai dunia musik. Terlalu berisik untuknya yang menyukai ketenangan.

“Kamu bisa panggil aku Edo,” ucapnya lalu melepaskan uluran tangannya.

Kini kelereng mata Sesya beralih ke pergelangan tangan Edo, ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Hanya ada sebuah jam tangan hitam yang melingkar di tangan kirinya. Ia meremas rok abu-abu itu sambil tersenyum kecut.

Mereka memang bukan orang yang sama tapi kenapa mereka mirip sekali?


---

Tampak depannya Edo tapi tampaknya dia bukan masa depanku):Apa sih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tampak depannya Edo tapi tampaknya dia bukan masa depanku):
Apa sih.

GratiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang