"Jadi, kau ingin kisah seperti apa?" ucapnya seraya memasukkan tangannya ke saku celana abu-abu dengan sabuk hitam itu. Ah, gaya menyebalkan itu lagi. Mengapa dia sangat suka berdiri dengan gaya seperti itu? Maksudku, ini sangat tidak adil! Mengapa dia bisa sangat keren hanya dengan berdiri? "Apa maksudmu?" ucapku mendongak, menatap mata cokelat hangatnya dengan senyum tipis di wajah yang berhias alis simetri dan bulu mata yang indah, serta poni yang menutupi dahi. "Walaupun aku bukan sutradaranya, setidaknya izinkan aku mengabulkan mimpimu. Kau ingin apa? Cinta semanis Romeo dan Juliet? Kata-kata seromantis Dilan? Atau apa? Katakan." Ah, seperti adegan di komik saja, mengapa ada angin menghempas poninya? Mengapa itu membuatnya jutaan kali lebih tampan? "Jika dengan mengabulkan itu artinya kamu jadi milikku, aku siap melakukan apa saja," tandasnya, membuat aku membulatkan mata. Maksudku, hey! apa dia becanda? Aku ini terlalu marimas untuk dia yang starbucks. Dia berasal dari keluarga kaya, kepopuleran luar biasa, dan ketampanan yang tidak manusiawi, bahkan berada di sampingnya saja membuatku merasa seperti debu yang terbang di sebelah bongkah berlian. "Hey pinggiran gelas, aku bicara padamu!"