Bab 2: Mortha

11 1 0
                                    

Saha berdiri di dekat pintu sambil mengeluarkan semua bukunya dari tas hitam yang habis terkena air.

Seharusnya aku pulang sendiri saja, jadi merepotkan dia juga. Apalagi, tadi aku sempat mengatakan hal menyebalkan padanya.

Air mataku turun kembali. Bunda, biasanya dia berteriak padaku sambil mengeluarkan kata-kata tanpa saringan, aku rindu.

"Hey," ucap Saha menatapku khawatir. Aku tersenyum, lalu mengambilkannya handuk serta kaus berlengan panjang dan celana yang kukira akan muat di tubuh tingginya.

"Bermalam disini, di luar hujan." Saha masuk ke toilet di ujung ruangan, lalu aku tersadar akan apa yang baru saja aku katakan. Hey, Skala! Apa yang kau lakukan? Meminta seorang pria menemanimu di rumah dan hanya berdua?

Ah! Bodoh! Lalu bagaimana sekarang? Memintanya pulang akan terkesan mengusir, namun membiarkannya disini membuatku khawatir.

Tenang Skala, tenang! Saha bukan pria brengsek yang akan melakukan hal bodoh. Sekarang kau lebih baik memberi dia makan, bilang akan tidur lebih cepat, dan malam akan berlalu dengan cepat.

"Ska, Skala!" panggil Saha, aku menoleh ke arah sumber suara.

Ah yaampun, pintunya.

Aku menepuk jidat, Saha terkunci di dalam. Pintunya memang sudah manja, menguncinya sama dengan bunuh diri.

"Tu-tunggu."

***

Suasana seketika canggung, Saha menatap ke arah lain sambil menyiapkan piring, sedangkan aku menggoreng nasi dengan telur dan sosis, juga kecap manis. Ah! Mukaku harus ditaruh dimana?

"Ska, Skala!" panggil Saha, aku menoleh ke arah sumber suara.

Ah yaampun, pintunya.

Aku menepuk jidat, Saha terkunci di dalam. Pintunya memang sudah manja, menguncinya sama dengan bunuh diri.

"Tu- tunggu."

"A- aku akan mendobraknya dari luar. Saha, menjauhlah dari pintu," teriakku seraya membulatkan niat untuk mencabut nyawa pintu tua itu. Aku mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan mendobraknya dengan sisi kanan punggung. Pintu terbuka, namun aku terhuyung dan tangan dingin menangkap tubuhku. Saha, dia memelukku.

Saha, mengapa dia terlihat begitu tampan bahkan saat sedang terkejut. Rambut basah menutupi dahi yang menetes, mata cokelat yang membulat lalu menatapku khawatir.

"Baik-baik saja?" tanyanya sambil menyeka rambut yang menutupi wajahku. Ah payah, pesona itu membunuhku. Mengapa manusia seperti dia harus diciptakan? Mengapa dia tidak membagi setetes saja kharismanya kepadaku? Mengapa dia begitu serakah akan semua kesempurnaan duniawi?

"Eum, i- iya." Ah bodoh! Mengapa aku jadi segugup ini?

Sekilas, aku melihat pipi Saha yang memerah, dan kurasa aku juga begitu. Pelukannya dia lepas setelah memastikan bahwa aku sudah mendapatkan kembali keseimbangan tubuhku.

Dua orang berpelukan di toilet sekecil ini, kecebong mana yang tak akan canggung? Aku menunduk, lalu memutuskan keluar duluan ketika sadar bahwa Saha menungguku agar keluar. Dia mengekor, lalu mencoba mengeringkan rambutnya berpura-pura tak terjadi apa-apa.

"Hey pinggiran gelas, kau menunggu nasi itu gosong?" Suara itu membuatku kembali ke dunia nyata. Ah bodoh, apa yang akan aku katakan.

"Selesai?" tanya Saha sambil mengacak puncak rambutku, syukurlah sikapnya sudah kembali normal, aku bisa kembali menyesuaikan.

"Iya, selesai." Saha membawakan piring, dan selanjutnya adalah makan malam dengan posisi bersebelahan, dengan Saha yang kurasa menatapku sekilas.

Ah, menurut postingan Instagram, orang yang ketika makan duduk di sampingmu berarti dia sudah menerimamu apa adanya. Jadi, Apakah Saha ....

"Kenapa kau begitu peduli padaku," ucapku.

Bukan apa-apa, aku merasa malu sendiri. Aku yang tak seberapa malah dekat dengan dia yang serba sempurna. Aku tidak cantik, bakatku tidak ada, dan kemalasanku di level dewa.

Ibaratnya aku yang doyan rebahan, malas-malasan, dan tiduran sambil drakoran malah bersanding dengan oppa korea dengan kolor jutaan. Tahu apa artinya? Mustahil! Maksudku ..., hey! Ayolah, wanita mana yang tak salah paham dengan sikapnya kini?

"Kenapa bertanya seperti itu?" tanyanya santai seraya menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, dengan tatapan lurus ke arahku.

"Ya ..., maksudku kamu punya banyak kenalan wanita yang lebih cantik dariku. Tapi, kenapa kamu malah dekat denganku?" ucapku sambil mengalihkan pandangan ke piring dengan isi kosong.

"Lebih cantik ya," ucapnya mengunyah nasi di mulutnya, begitu juga aku yang meneguk teh hangat di gelas tinggi yang tadi aku siapkan.

"Jika yang dipandang paras dan fisik saja, apa yang akan terjadi jika esok aku buta? Mati rasa hilang jiwa 'kan?" ucapnya sambil tersenyum dengan makna ambigu. Ah, pantas saja dia menjadi rekanku di konseling sebaya. Rupanya karena kata yang dia ucapkan sangat enak didengar, bahkan membuat hati bergetar.

"Hey, pinggiran gelas. Ingat ini," ucap pria dengan alis simetri itu seraya berdiri dan berjalan ke arahku.

"Percayalah, aku hanya melihat ke arahmu," bisiknya dengan kekeh, lalu mengambil piring di depanku.

"Tidurlah, aku akan membereskan ini untukmu." Pria itu berjalan menjauh, dan aku tersenyum. Ah, aku rasa aku kehilangan semuanya. Namun, saat menyadari dia akan melindungiku dari luka, membuatku merasa dia adalah segalanya.

"Hey sedotan! Itu tugasku."

Dia, segalanya.

***

"Jadi, bagaimana?" Pria itu tersenyum, lalu menatap pria dengan jaket hitam berhoodie di belakangnya.

"Apanya yang bagaimana? Tentu menghancurkan keduanya." Pria dengan seragam abu itu tersenyum, lalu menyeringai.

"Chris Mortha ini hanya sedang berbaik hati saja." Tandasnya seraya masuk ke mobil.

Rasaha, kau ingat aku 'kan?



***

Hua ... beberapa minggu ke belakang nggak update, maaf ╥﹏╥
Aku kejebak PTS, terus disusul remedialan. Semangatin dong :<

Kok nggak double update sih?

Tadinya pengen sih, tapi gimana gitu hhe ┐( ̄ヮ ̄)┌

Oke sekian deh, tekan bintang boleh kali ヽ(*≧ω≦)ノ

Makasih udah baca Anonim. Ke depannya diusahakan update sesuai jadwal. Kapan? Setiap malming.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnonimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang