Bukan Kesalahan

83 8 7
                                    

"Pegang tanganku, Han. Pegang yang kuat."
"Lepas, Fadlan, Lepas."
"Nggak, Han. Ini bukan jalan keluar. Bertahanlah."
"Aku harus menebus kesalahanku."
"Mari kita bicara nanti. Tolong pegang tanganku. Bertahanlah."
"Kamu nggak bakal ngerti keadaan ini. Lepasim sekarang."
"Diam. Nanti tenagamu habis."

Fadlan menarik tanganku dengan sekuat yang dia bisa, sedangkan aku berlainan arah. Aku menolak tarikannya. Berkali-kali aku melepaskan tanganku, tapi dia semakin memperkuat genggamannya.

"Kamu ingin seperti dia? Mati membawa tanda tanya dan penyesalan orang lain?"

Ucapan Fadlan mendorongku melihat ke bawah. Jurang yang remang-remang. Masih terlihat gelap karena matahari belum keluar sepenuhnya. Setelah melihat pemandangan itu, aku langsung lemas dan mengalah. Aku biarkan Fadlan berhasil menarik tangan sekaligus membawa tubuhku ke atas, ke pelukannya. Belum sampai dua detik, dia melepaskan tubuhku dan menjauh. "Maaf," ucapnya kikuk.

Napas kita saling beradu. Aku pikir, Fadlan akan memarahiku. Mengatakan aku gila, bodoh, dan semacamnya seperti yang orang-orang lakukan di film dan novel. Alih-alih peduli, dia malah duduk dengan menekuk lututnya.

"Aku sudah menolongmu, selebihnya itu urusanmu," ucapnya enteng.
"Maksudnya?" aku ikut duduk bersamanya.
"Kalau kamu memutuskan untuk melanjutkan bunuh diri yang tadi, silahkan. Nggak bakal ada penyesalan bagiku."

Dia benar-benar membuatku kesal. "Kamu pernah kehilangan hal yang nggak pernah kamu pikirkan akan hilang?" Aku bertanya dengan nada serius.

"Orang itu bodoh. Bisa-bisanya nggak pernah berpikir akan kehilangan hal yang disukai," Fadlan tertawa kecut sekali. "Di dunia ini, apa pun akan hilang meski selalu digenggam," lanjutnya.

"Kamu bilang aku bodoh?"
"Kamu? Jadi kamu orangnya? Haha maaf."

Aku hening beberapa saat, hingga dari dalam, ada yang menginginkan untuk keluar. Ia tidak lagi bisa menahan. "Dia, ayahku," kataku lirih.

Tampak Fadlan yang terdiam setelah mendengar pengakuanku.

"Dia yang aku kejar adalah ayahku," timbalku.

"Aku tahu. Aku nggak sengaja mendengar percakapanmu dengan Musa."

Aku memilih tidak menjawab. Beberapa menit berputar, Fadlan menatapku dengan tatapan yang tajam, tapi tetap lembut. "Han, mati itu bukan kesalahan, meski penyebabnya adalah pembunuhan. Jika seseorang ditakdirkan untuk mati di laut, di hutan, di mana pun dan dalam keadaan apa pun, ia akan mati dengan cara seperti itu. Dengan cara yang sudah tertulis, bahkan sebelum orang itu merengek di hadapan dunia untuk pertama kalinya."

Bisa-bisanya Fadlan ceramah di saat seperti ini. "Berkata itu mudah, tapi kenyataan nggak semudah itu untuk diterima," jawabanku membuat gigi taring pria itu terlihat.

"Selain menerima, kamu bisa apa di dunia?" Fadlan berhenti sejenak seperti sedang menunggu jawabanku.

Terlihat aku yang tak bisa menjawab, dia melanjutkan perkataannya, "Hidup itu berjalan karena kita menerimanya."

"Bagaimana caranya bisa tahu kalau kita sedang menerima?" tanyaku penasaran.

"Cukup hidup. Namanya takdir. Ia paling nggak bisa ditolak."

Aku mengamati tiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Dengan tatapannya yang lurus ke depan, aku mencuri tatapan itu dari samping. Seolah waktu berhenti dan bumi sedang diam. Tidak ada bunyi angin yang berhembus, bahkan kicauan burung tak terdengar.

FADLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang