Ini Takdir-Nya

51 2 2
                                    

"Lo nggak ada matinya, ya, Nin, jadi beban keluarga."
"Lo bikin rusak nama baik keluarga, tau, nggak."
"Kenapa sih bisa tersebar?"
"Cepat ke sini. Bakalan banyak reporter di luar."

Panggilan berakhir tanpa ada satu pun jawaban dariku. Abang memutusnya sepihak.

Seharunya aku yang menanyakan itu. Kenapa bisa tersebar? Bukankah jawaban itu adalah hakku?

Mau tidak mau, aku bergegas menemui ibu ke alamat yang diberi tahu abang.

Saat mobil dicegat lampu merah, bola mataku beralih ke arah Fadlan yang sedang terburu-buru menyebrang dengan mata yang berkeliaran.

Seketika otakku juga teralihkan dan lupa masalah yang memenuhi pikiran. Tiba-tiba aku tertarik dengan wajah cemas Fadlan yang baru saja melintas di zebra cross.

Kakiku menginjak pedal gas perlahan. Meminggirkan mobil dan memarkirnya. Lalu, mengejar pria tadi. Alias mengikutinya secara sembunyi.

Pria itu terus saja mencari sesuatu. Tapi entah apa. Ia bertingkah seperti kehilangan seseorang yang sangat berharga.

Entah seberapa jauh dia berlari, kakiku masih senang mengikutinya.

Segerombolan orang melihatku dengan tatapan jijik. Kemudian aku sadar bahwa diriku ini sedang kenapa-kenapa. Aku menunduk agar tak terlihat oleh lalu lalang orang.

Tiba-tiba, entah dari mana reporter itu datang. Mereka sudah melingkariku sekarang. Aku kesulitan menghindar dan tak tahu harus apa.

Keberadaan mereka memaksaku menghentikan aktivitas mematai-matai Fadlan. Aku juga kehilangan jejaknya.

Saat mataku berusaha mencari celah untuk kabur, mataku berhadapan dengan mata pria itu. Pria yang sedari tadi aku ikuti. Mata kami saling bertemu, tapi kenapa dia hanya diam saja tanpa membantuku?

Aku semakin keras melihat ke arahnya. Rupanya dia sedang merangkul seorang pasien wanita.

Siapa? Fadlan benar-benar nggak peduli. Dia pergi seolah orang asing.

Tubuhku terus saja terdorong ke segala arah. Menjawab pertanyaan mereka juga percuma. Aku seperti sebutir gula yang dikerumuni semut. Namun, semut bisa bekerja sama. Manusia yang aku hadapi sekarang, tidak ada adabnya. Mendorong dan menodong publik figur yang sedang sendirian.

"Permisi... Permisi."

Ucapan itu terdengar nyaring. Dia juga menyisir tiap orang yang mengelilingiku.

Lalu, dia menarik kasar lenganku hingga sebagian reporter berjatuhan. Kuat sekali.

******

"Jangan jelasin apapun. Aku kecewa," ujarnya setelah berhasil membawaku ke dalam mobilnya.

Dia memakaikan topi dan memberiku masker. Lalu menyetir dengan senyap.

"Maaf," sesalku lirih.

"Sejak kapan?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

Aku menatapnya bingung. Apa? Dia menanyakan bagian yang mana?

Merasa mengerti dengan diamku, dia bergeming, "Sembunyiin semua ini."

Aku terdiam. Menelan ludah sendiri dengan kesulitan. Keadaan kemudian menjadi hening.

Beberapa saat, aku mulai sadar kalau wanita yang kerap kali ada di saat keadaan pelik sedang membawaku ke seruan ombak.

FADLANWhere stories live. Discover now