6

562 88 4
                                    

Bel pulang telah berbunyi. Semua siswa bergerak keluar sekolah. Ingin rebahan.

"Jen."

"Aps?"

"Alay lo ah."

Jaemin menarik napas panjang. Lalu dibuang kembali.

"Eh jangan dibuang dong. Mubazir" ucap Jeno. Jaemin mendelik.

"Lo mau gue mati?"

Jeno hanya mengangguk disertai eye smilenya yang membuat siapapun iri. Jaemin berdiri. Ia meninggalkan Jeno yang masih senyum-senyum kaya orang gila.

Jeno berfikir. Biasanya ia lebih sadis dari ini. Dan Jaemin akan membalasnya. Kenapa kali ini Jaemin diam saja?

Jeno akui. Daritadi setelah perlajaran agama, Jaemin aneh. Sifatnya terlalu diam sulit dipercaya. Jeno jadi takut. Jeno berlari keluar kelas mengejar Jaemin.

Sampai diparkiran, Jeno tida melihat motor Jaemin. Yang artinya, Jaemin sudah pulang duluan. Bukan masalah. Ia sudah tau arah Jaemin pulang. Bukankah mereka satu atap?

Jeno mengendarai motornya dengan banyak gaya. Ia terlalu fokus lirik sana sini dijalan. Hingga ia menemukan,

"Nana?"

Entahlah. Dirinya latah seperti itu. Bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan. Dengan cepat Jeno memakirkan motornya. Dan mendekati pria yang tengah berdoa sambil menangis didekat gundukan tanah dengan nama "Im Yoona."

"Na?"

"No?"

Mereka berpandangan. Tidak lama. Dekapan itu berlaga tanpa permisi. Pemuda itu, Jaemin. Menangis dipelukan Jeno.

"Jangan tinggalin aku ya, Nono." Jaemin kecil menangis setelah ia mengantarkan sang ibunda menuju rumah barunya, bawah tanah.

Jeno kecil mengangguk. Dirinya juga menangis. "Iya, Nana. Nono ga bakal ninggalin Nana. Nono bakal selalu sama Nana. Sampai kapan pun pokoknya." Jeno mendekati Jaemin. Mereka berpelukan.

"Buna ga sayang sama Nana ya, No? Nana nakal banget ya, No? Sampe buna ga sanggup liat Nana lagi." Jaemin terus menangis. Membuat Jeno tidak tega dan ikut menangis.

"Enggak kok Na. Kamu ga nakal. Yang nakal itu aku, ngasih pakan burung ke kucing kamu. Maaf ya, Nana. Maafin, Nono."

"HAH? OH JADI YANG BUAT UCI NANA KEJANG-KEJANG ITU NONO? NONO JAHAT. JANGAN TEMUIN NANA LAGI."

Kejadian itu terlintas dipikiran Jaemin. Ia terkikik mengingatnya. Saat ia dan Jeno kecil begitu akrab. Selalu bersama kemanapun. Tidak seperti sekarang.

"Saha eta?" Jeno menepuk dahi Jaemin. Jeno takut Jaemin kemasukan. Karena tadi nangis sekarang tersenyum.

"Gue keinget kejadian Uci, No." Jaemin terkikik lagi. Sedetik kemudian, Jeno tertawa. Tentu, ia juga ingat betul dengan kejadian itu.

"Maafin gue ya, Na." Jaemin mengangguk. Ia senyum sedetik kemudian. "Tapi lo ngapa gini? Apa karena penjelasan guru agama tadi?"

Jaemin mengangguk. Lagi. Jeno tertawa kencang. Sebenarnya, selama ini. Jeno tidak membenci Jaemin, hanya saja anak itu sangat seru jika dikerjai. Tentu, Jeno memyimpan rasa dari kecil. Sayangnya, ada dinding kuat menjadi penghalang didepannya.

"Dan, buna selalu ngajarin gue buat ga benci siapapun. Sekalipun orang yang udah ngelukai hati gue. Beliau akan kecewa kalo gue ga patuh sama ucapannya." Jaemin menatap gundukan tanah itu dengan pedih.

"Jangan berantem lagi sama gue, mending pacaran sama gue."

Mas JenoWhere stories live. Discover now