𝟎𝟎. 𝐩𝐫𝐨𝐥𝐨𝐠𝐮𝐞

921 106 64
                                    


1950 ; Worcester, Inggris

ㅡ The Salvatore's Mansion

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

The Salvatore's Mansion. Worcester, England.

Mewah.

Apa yang diucapkan pertama kali oleh sepasang netra yang memandang mansion keluarganya adalah mewah.

Bukan kesalahan, bangunan luas itu memang menawan. Megah dikungkung beberapa menara yang tinggi menjulang. Arsitektur bak bangunan kerajaan yang sedang menyentuh masa kejayaan memang selalu memuaskan semua orang yang melihat.

Pria dengan paras paripurna itu masih sibuk dengan sebatang rokoknya. Tangan kanannya ia gunakan untuk menjepit rokok, sedangkan tangan kirinya bertengger pada pembatas balkon yang terbuat dari perak.

Jeno tidak pernah memungkiri, mansionnya adalah tempat ternyaman untuknya beristirahat.

Pekerjaannya bukan hal mudah, seakan dunia yang semakin hari semakin bercanda dengan jati dirinya, bahkan terkadang disuatu titik Jeno merasa dirinya tak mampu karena terlalu lelah.

Sang taruna membuang puntung rokoknya ke sembarang arah. Kini bibirnya mengaduh kesakitan. Sebenarnya sang empu memiliki lula parah di lengannya. Tapi ia abai, menganggap itu bukan hal yang oatut digadang-gadang untuk diceritakan.

Jeno melingkis lengannya, kini tampak jelas goresan pisau yang sangat panjang meniti setiap inch lengan bawahnya. Lukanya kian membiru, bahkan masih ada bercak darah yang mengering. Tetapi ia biarkan dan memilih menutupnya kembali.

Lukanya ia dapat tepat lima hari yang lalu, saat ia sedang didalam misi kenegaraan. Sudah biasa, setiap misi memang membahayakan nyawa. Jadi goresan sepanjang ini pun bukan masalah fatal.

Pria bermarga Salvatore itu membalikkan badannya ketika merasa ada yang membuka pintu koridornya. Nampak si sulung dengan baskaranya berdiri tegak dengan tatapan yang tak dapat dibantah. Majesti yang kuat seakan menguar seperti punya radar sendiri, ia patut disegani secara mutlak.

"Semuanya ayo berkumpul ke bar!" Katanya lugas penuh penekanan.


Kini netra keduanya bertemu, sang kakak berjalan mendekatinya dengan kedua tangan yang ia sembunyikan dibalik saku celananya, "Tunggu apalagi? Kumpulkan sisanya kemudian bergegas ke bar. Dirimu juga tau aku tidak suka dipermainkan. Bergegaslah atau tubuh kalian kupahat!"

"Baik, John." Jawab Jeno tidak membantah. Bagaimana bisa? Dirinya masih mau hidup dengan anggota tubuh yang lengkap. Makanya jangan menjawab Johnny, jangan! Kau tidak tau saja kalau dia bahkan sudi memenggal apapun yang dia inginkan.

Jeno bergegas membantu kakaknya untuk mengumpulkan saudaranya yang lain. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat. Sepatunya kini bergemeletuk akibat dentuman langkahnya yang menghujam marmer berwarna abu-abu. Kedua jarinya lihai memencet bel secara berkala dari pintu ke pintu.

THE SALVATORE : JenoWhere stories live. Discover now