12

798 157 29
                                    

Sudah setengah jam lebih gue menunggu Kuroo di ruang tunggu, karena dia lagi check up di dalam ruangan dokter. Ini klinik apa rumah sakit anjir, gede banget.
Gue sih gak yakin kalau ini check up terakhir nya, dia aja masih ngerasain sakit di bahu nya dan juga pengobatan cedera itu gak sebentar.

"Maap ya buat lo nunggu" gue melihat Kuroo yang keluar dari ruangan dokternya dan sontak gue berdiri.
Mata gue tertuju pada paper bag yang ada di tangan nya, sebelum nya berangkat kesini dia gak menenteng apapun.

"Apa katanya?"

"Gue baik-baik aja, gak usah segitunya Kei"

"Terus itu apa?" gue menujuk kearah paper bag yang dia bawa itu.

"Oleh-oleh" apaan sih anjir gak lucu. Langsung gue merebut paper bag itu dan melihat isi nya.
Ada deker bahu di sana, itu cukup buat gue diam.

"Baik-baik aja, tapi di suruh pake deker bahu? Disini yang bohong itu, lo apa dokternya?"

Gila aja ini dokter, cedera udah hampir 2 bulan dan baru di kasih deker bahu itu sekarang? Dokter apaan sih dia ini, jangan-jangan Kuroo malah dateng ke spesialis kandungan lagi. Gue dengan raut wajah yang udah gak seneng, memasukan kembali deker bahu itu ke paper bag dan memberikannya lagi ke Kuroo dengan kasar.

"Pake sekarang! Gue tungguin"

"Tapi gue seriusan gak apa-apa, dokter nya juga salah kok, gue ok ok aja"

"Pake Kuroo, pake sekarang! Pake!"

***

"Agak gak enak Kei pake Deker" kata Kuroo sambil memegangi bahu nya.

"Dari pada gak sembuh-sembuh, malah nyusahin diri lo kemudian hari kan lebih repot"
Tadi gue menyuruhnya memakai itu di toilet klinik, tetap aja gue bantu karena dia juga gak bisa pakai sendiri.
Kuroo mengajak gue ke caffe yang waktu dia mengajak gue dengan paksa cuma buat menemani ngerjain tugas. Suasananya juga beda, karena sekarang sore.

"Kei"

"Hhm?"

"Cium gue Kei"

Langsung gue remas bahu kirinya, reflek setelah mendengar permintaan Kuroo.
"Ah iya iya, ampun"

Gue meminum green tea latte yang gue pesan sambil memperhatikan layar tancep itu menayangkan film Coco. Membiarkan Kuroo yang juga sibuk sama ponsel nya.
"Kei, coba panggil gue Tetsurou deh"

Tadi minta cium, sekarang minta di panggil nama belakangnya.
"Kenapa emang nya?"

"Ya gue mau ngajarin lo gimana cara nya mendesah sambil nyebut nama gue. Kalo manggil Kuroo, emang nya lo main ama Bapak gue?"

Gue mau pura-pura bego, soal kata main dan mendesah yang dia maksud.
"Ngapain gue ngedesah?"

"Ya kan karena Main"

"Main apa'an?"

Kuroo menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan yang dia taruh dia tas meja dan mulai bergumam.
"Jangan pura-pura bego deh lo ya. Lo pikir gue tahan, ngeliat lo terus-terusan cuma make t-shirt gue"

Gue terkekeh dan mengusap kepala Kuroo yang masih di telungkup kan itu.
"Siapa bilang gue mau ngelakuin itu sama lo? Status aja gak jelas. Gue aja gak tau apa alesan lo buat gue tinggal sama lo"

"Yaa mungkin karena gue nya terlalu bucin sama lo, sampai gue mau di ajak tinggal bareng" lanjut gue.

Kuroo masih telungkup diatas tangan nya, sedangkan gue masih setia mengelus kepalanya itu. Perkataan gue tadi adalah beban gue selama ini, gue gak bilang menyukainya itu beban. Kalau lo diajak tinggal bareng, di perlakukan layaknya seorang pacar, di belikan barang, tapi kalau gak ada status yang jelas?, lo mau apa?.
Gue sudah gak mau menuntut Kuroo untuk menjadikan gue pacarnya dan di perkataan gue tadi cuma tersirat uneg-uneg gue selama ini. Dengan perlakuan Kuroo yang seperti ini, sudah buat gue senang gak ketulungan walau secara ekspresif gak tergambarkan.

"Oh iya Kuroo, makasih ya buat kacamata nya, gue suka" Kuroo mengambil tangan gue yang tadi mengelus kepalanya dan dia genggam dengan kedua tangan.

"Eeeeaaaa ke gap kan lo berdua"

Si Burhan bisa gak sih gak muncul dadakan. Gue dan Kuroo secara bersamaan melihat kearah sumber suara. Di sana berdiri Mas Bokuto yang dengan senyum lebarnya, sambil membawa nampan berisi minuman.

"Ngapain lo di sini? Part time jadi pegawai di sini?" tanya Kuroo yang masih betah menggenggam tangan gue.

"Yeee lo kata ni tempat punya bapak moyang lo apa? Gue juga mau santai di sini" Mas Bokuto duduk menyempil diantara gue dan Kuroo, membuat Kuroo melepaskan tangan gue. Gue melihat sekeliling, mencari keberadaan Mas Akaashi, karena gue mikirnya Mas Bokuto gak mungkin ke sini sendiri.

"Lo sendiri? Mas Akaashi mana?" tanya gue.

"Akaashi gak ikut, ngambek dia sama gue, terus gue di usir dari rumah" jelasnya dengan ekspresi sedih yang gue yakin gak di buat-buat.

"Gara-gara?" gue bertanya secara bersamaan dengan Kuroo, menanyakan alasan kenapa Mas Bokuto di usir. Padahal Mas Akaashi segitu bucin nya sama babi nya ini.

"Hickey" jawab nya santai.

Ya jelas lah anjir Mas Akaashi marah, soalnya bukan sekali dua kali gue lihat Mas Akaashi yang leher banyak plester atau dia pakai baju yang turtle neck.

"Lo mau juga Tsuki? Sini gue bikinin"

"Mati!" ujar Kuroo kearah Mas Bokuto yang mendekatkan wajah ke gue.
"Leher lo sini gue kasih cupang, tapi bukan pake mulut, pake gergaji, mau lo? Hah? Kotarou-kyun" lanjut Kuroo.

Lalu mereka saling cekek.
"Eh bentar, bentar tahan dulu, ayang beb Akaashi nelfon, kan dia tu gak bisa lama marah sama gue, pasti dia mau nyuruh gue balik"

Gue melihat kontak nomor Mas Akaashi di ponsel nya Mas Bokuto 'bebeb overthinking' njir, bener bat.
Mas Bokuto mengaktifkan speaker pada panggilan nya dan menaruh ponsel nya di meja, supaya gue maupun Kuroo bisa dengar.

"Halo sayang kangen ya-"

"Bokuto sialan, lo udah gue usir masih bisa-bisa nya bikin gue kesel, maksud lo apa'an ngasih si jambret permen karet, dia mati tau gak!"

"HAH MATI! Gue OTW pulang"

Jambret, siapa anjir itu, mati gegara permen karet.

"Gue duluan ya, anak gue mati"

Tanpa sadar Mas Bokuto udah gak ada di antara gue dan Kuroo. Anak? Anak siapa? Dia mati.

"Jambret itu iguana kecil, punya Akaashi sama Bokuto"

Sialan bikin panik si bokutot.

Untitled づ KurotsukiWhere stories live. Discover now