Part 20

24 4 0
                                    

Keputusan dibuat dari pemikiran panjang lalu eksekusi. Mungkin berat akan tetapi, di antaranya perlu adanya keikhlasan untuk melepaskan karena pada dasarnya jikalau dipaksakan semuanya akan berakhir.
–Heartbreat.

......

Di malam tanpa sinar rembulan menyinari. Berdiri seorang perempuan bermata merah dengan cairan bening membasahi pipinya. Baru saja ia mengingat kembali pertemuannya dengan pemuda yang kini tersakiti. Tara menangis, pelukan hangat tersematkan di belakang. Adit memeluk erat.

Mereka saling menyakiti meski ada lagi yang terluka lebih dalam. Adit menempelkan dagunya di bahu Tara, sedangkan punggung Tara bersender di dada kekasihnya. Mereka saling diam. Angin menyapa.

Suasana di sekitar begitu hening. Tara menghapus jejak air mengalir. Adit mengulurkan tangannya ke angkasa ingin menggapai sesuatu, sayangnya tidak tergapai. Tara menoleh, mata mereka bertemu. Adit membalikkan badan Tara berhadapan dengannya. Kini mereka saling menempel. Adit merendahkan matanya, menatap bibir Tara intens lantas membuat Tara menutup matanya. Sapuan lembut membelai bibirnya. Adit mendekap Tara, napas keduanya saling beradu. Menikmati segala bentuk keresahan dan pikiran kacau.

Hanya dengan kebersamaan semuanya lenyap begitu saja. Adit membawa Tara masuk, pagutan tak terlepas melainkan semakin menggila. Adit mendorong Tara ke kasur. Tak membiarkannya pergi, mengurungnya dalam lingkaran tangan. Tara mengikuti arus. Tangannya dikalungkan ke leher Adit. Keduanya saling mencintai.

Semua perasaan yang terbelenggu kini terbebaskan. Adit mengambil jarak. Mereka mengatur napasnya. Pipinya merona, Tara menenggelamkan wajahnya karena malu. Dengan lembut Adit membelai rambutnya. Kecupan manis hinggap di dahinya, serta seluruh wajahnya tak terlewatkan.

Tara bahagia bersama dengan kekasihnya. Meski banyak lika-liku perjalanan yang membuat mereka terpisah, tetapi mereka kembali bersama meski ada yang tersakiti saat ini. Adit memandang wajah Tara.

"Gue sayang sama lo Tara, tetapi inilah akhirnya ...," balasnya dengan lirihan yang membuat telinga Tara memerah. Tara mengangguk.

Adit mengatur napasnya. Perkataan selanjutnya membuat Tara membeku.

"Maaf, seharusnya gue nggak kembali karena gue lo sakit dan karena gue juga lo harus menderita lebih dalam. Kembalilah ke Rafael, gue mohon Tara," bisiknya rendah. Namun, menyakitkan.

Tara mencengkeram dadanya yang sesak. Adit melepaskannya tanpa bernegosiasi terlebih dahulu. Apakah Adit sudah bosan kepadanya? Dan tidak membutuhkannya lagi?

Tak ada jawaban. Adit tahu telah menorehkan luka di relung kalbunya dan baru saja Adit menyuruh Tara kembali ke pelukannya. Meski ia akan terluka, tetapi yang lebih menderita ialah Rafael. Cintanya hilang dan satu-satunya pelita telah pergi. Adit lebih melepaskan ketimbang harus tersakiti lebih banyak.

Tara berontak. "Aku menolak!"

Adit melonggarkan pelukannya. Menatap Tara yang sudah berlinang air mata. "Ini yang terbaik Tara. Gue emang egois dan jahat. Nyatanya gue kembali untuk menghancurkan lo lagi." Tanpa berperasaan Adit menjauh dari Tara. Tara menariknya lagi, tetapi Adit menepisnya.

"Jangan pergi, kamu udah janji sama aku. Aditttttt!" teriaknya sambil menangis. Adit membuang muka. Menjadi jahat itu pilihannya. Adit keluar dari kamar tak tahan mendengar tangisannya yang semakin pilu. Tara mengejar Adit sambil mengulurkan tangannya, memeluk Adit dari belakang.

"Kamu gak boleh pergi, aku akan ikut ke mana–" Tamparan keras singgah di pipinya.

Adit menatap Tara dengan sinis. "Pergi! Jangan sentuh gue ... memuakkan."

Mata Tara berkaca-kaca. Tangannya menyentuh pipinya yang merah sehabis ditampar. Kevin mendengar keributan memilih diam di balik pintu. Tangisan seorang perempuan dan amarah pemuda menghiasi malam yang hening.

Tara terus berusaha menghalangi Adit pergi. Segala macam tindakan kasar dilakukan, Adit tetap pergi. Tara bertemu pandang dengan Kevin lalu meminta bantuan.

"Gue mohon ...," lirih Tara dengan memaksakan kehendaknya untuk mengejar Adit sampai turun ke lift. Tara memeluk Adit tetapi sang kekasih tak membalasnya. Tara semakin sakit, ia merayu kekasihnya.

"Aku akan jadi baik, tapi jangan pergi. Aku mohon ...," isaknya. Adit mendorongnya kasar.

Pintu lift terbuka Adit pergi ke basment menuju ke motornya. Tara tersandung dan terjatuh masih dengan isak tangis. Ia menatap Adit sendu. Masih dengan teriakan yang mengiris kalbu. Adit berhenti sejenak. Ia menoleh dan mendapati Tara dalam keadaan kacau. Adit mengepalkan tangannya.

Sekali lagi ia menorehkan luka padanya yang mungkin tak termaafkan. Adit meredam emosinya. Ia melangkah mendekati Tara. Wajah Tara penuh dengan cairan bening serta mata merahnya, belum lagi luka di dahinya akibat dorongan keras yang menghantam kepalanya.

"Jangan seperti ini Tara gue mohon," ujar Adit sambil meneteskan air matanya. Kemudian, membawa Tara ke pelukannya begitu sebaliknya.

"Jangan pergi ...."

Adit mendongak bertemu pandang dengan Kevin. Rupanya ia mengikuti mereka meski tak membantu, tetapi ia cukup menderita dengan pemandangan di depannya. Tara mengeratkan pelukannya enggan melepaskan meski Adit mendorongnya menjauh ia tak 'kan membiarkannya pergi. Adit memberi kode ke arah Kevin, ia mengangguk.

Kevin mengeluarkan mobil dan Adit menyeret Tara masuk ke dalam. Tara tak peduli dengan perlakuan kasarnya. Adit duduk di belakang sambil menggendong bayi besar.

Kevin menancap gas pergi membelah kesunyian. Tara masih terisak dengan wajah merah, Adit menghapusnya. Mengusap darah yang keluar dari dahinya dan membersihkan noda kotor yang bertengger di baju serta tubuhnya. Pakaiannya kotor, terpaksa Adit menyuruh Kevin berhenti di antara toko yang buka.

Tara menolak dilepaskan. Kevin masuk dan keluar sambil membawa satu set pakaian bersih. Adit merobek baju yang dikenakan Tara. Kevin membuang muka, Adit benar-benar maniak, dan tak punya malu merobek baju perempuan di dalam mobil.

Karena Tara menolak dilepaskan dari pelukannya terpaksa Adit melakukan dengan kasar, Tara menundukkan kepalanya. Ia melihat tangan Adit melucuti pakaiannya dengan cepat begitu terampil. Dengan ekspresi datar Adit memakaikan kembali baju ke tubuh Tara. Adit memperlakukan Tara seperti boneka, Tara terus menempel padanya. Kevin masuk dan mereka melesat pergi.

Adit menatap jalanan lurus. Tujuannya ke rumah Rafael. Ia sudah memantapkan hatinya untuk tak berpikir ulang. Tara akan tinggal dengan Rafael, sedangkan ia akan pergi. Kevin melirik dari kaca kecil melihat mereka tertidur berpelukan.

Sesampainya di rumah Rafael. Aldo menyipitkan matanya. Sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan dengan menabrak gerbang. Aldo meringis saat melihat tong sampah berceceran. Rafael membuka matanya, ia keluar kamar dan berdiri di depan teras. Ia melihat Tara dalam pelukan membuat otot-ototnya memekik. Ia berjalan ke depan langsung meninju wajahnya, tetapi ditahan oleh Aldo.

"Tenang Raf! Kita bicarakan di dalam. Ayo masuk." Adit berjalan duluan dengan diikuti Kevin, Aldo dan Rafael. Mereka sempat bertatapan. Rafael membuang muka, sedangkan Kevin menundukkan kepalanya.

Di dalam ruangan. Rafael murka. "Lo emang bangsat, anjing dan tidak tahu malu. Lo bawa pergi Tara dan sekarang lo balikkin dia usai lo bosan. Menjijikkan!" teriak Rafael dengan marah. Sungguh tak habis pikir dengan pemikiran tolol seorang Adit.

Adit membawa Tara ke kamar Rafael. Dibaringkan perlahan agar Tara tidak bangun. Adit membisikkan kata-kata lembut membuat Tara tenang. Kemudian, menatap Rafael datar. "Nggak usah bacot! Seharusnya lo senang, gue balikkin Tara. Awalanya gue ogah tapi gue berpikir ulang dan gue harap lo jagain Tara, Raf! Gue emang pengecut."

......

S E L E S A I

Yuhu~ di penghujung kisah. Goodbye manteman. Adit memilih melepaskan Tara, dan pergi tanpa jejak.

Akhir yang kurang gurih :> Numpang lewat ~

Semua akan terkupas di Epilog yaw~ Sekian dan terima kasih telah mengikuti cerita Heartbeat. Mungkin akan aku ganti judulnya usai iklan berikut ini atau tidak usah. Yasudahlah. Aku pamit!

Tentang Rasa [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang